Category Archives: Essays

II. Telaah Pustaka

Standard

1.    Landasan Teori

1.1.    Lingkungan Hidup

Salah satu pokok bahasan esai ini adalah pembangunan lingkungan hidup dan pengelolaannya. Bahasan pertama mengenai pengelolan sampah berbasis masyarakat di area metropolitan Jakarta. Menurut Wirjoatmodjo (2002) bahwa komponen darat dari proyek percontohan UNESCO mengenai Pengurangan Dampak Kota Besar pada Lingkungan Laut memiliki tiga area utama kegiatan:

1.    Pembangunan Sebuah Model Kerja untuk Pengelolaan Sampah di Komunitas Lokal

UNESCO bekerja sama dengan institusi lokal dan LSM di Jakarta untuk membangun sebuah model kerja untuk sebuah “Kampung Ramah Lingkungan”. Kegiatan-kegiatannya terfokus pada: a) pembentukan panitia lingkungan hidup pada tingkat masyarakat; b) peningkatan sistem pengumpulan sampah (pemilahan sampah); c) pengurusan sampah melalui kegiatan alternatif (pendaurulangan kertas, pengomposan, pembibitan tanaman menggunakan kompos yang diproduksi sendiri sebagai penyubur); d) program penghijauan; e) kesadaran masyarakat. Sebagai hasil dari kegiatan ini, persepsi masyarakat dan metode pengelolaan sampah telah diaplikasikan di area proyek percontohan. Pada awal 2001, UNESCO mengadakan kompetisi mendesain tempat sampah untuk pemilahan sampah. Dari karya yang diterima, dipilih lima desain prototip tempat sampah, dikonstruksi dan diuji di Kampung Banjarsari untuk menerima umpan balik dari masyarakat dan pemulung. Sesi-sesi pertemuan dan pelatihan diadakan untuk mengorientasi masyarakat seluruh kampung dan para pemulung mengenai sistem baru pengumpulan sampah. Ketika sistem baru ini sepenuhnya berjalan, ternyata sistem ini menjadi model yang mampu ditiru di perkampungan lain. Banjarsari menjadi sebuah contoh dari kampung ramah lingkungan untuk komunitas dan daerah lainnnya di Indonesia. Perwakilan dari komunitas lain, organisasi pelajar dan wanita telah mulai mengunjungi Banjarsari untuk mengikuti pelatihan mengenai pengelolaan dan proses daur ulang sampah.

2.    Pembangunan Sebuah Model Kerja untuk Pengelolaan Sampak Organik di Pasar Tradisional

Mengikuti pembelajaran mengenai hal degradasi organik, pusat-pusat pengkomposan telah didirikan di dua pasar dengan tujuan untuk mengurangi jumlah sampah organik yang dihasilkan. Mereka saat ini telah menjual kompos yang digunakan untuk penyubur tanaman obat. Pelatihan mengenai pengelolaan sampah telah diadakan untuk para penjual dan pembeli di pasar. Hasilnya,  tercatat 40% penurunan sampah organik di setiap pasar pada tiga bulan pertama dari program ini.

3.    Pendidikan Lingkungan Hidup dan Pengenalan Pengelolaan Sampah dan Prinsip-Prinsip Daur Ulang Kepada Pelajar, Remaja dan Kelompok Masyarakat

Wisata belajar untuk kelompok masyarakat, remaja dan pelajar diadakan secara rutin untuk menunjukkan kepada mereka kondisi lingkungan hidup laut, dan memberikan kepada mereka pengertian tentang hubungan antara produksi sampah di darat dan efek-efeknya pada kondisi yang memburuk di sungai dan laut. Wisata belajar ini selalu dikombinasikan dengan diskusi panel untuk mencari solusi alternatif. Kursus pelatihan mengenai pengelolaan sampah, pengomposan, daur ulang, dan pemasaran produk-produk daur ulang dan pengelolaan kooperatif telah dilakukan secara rutin. Pada umumnya sesi pelatihan ini termasuk kunjungan ke salah satu situs proyek percontohan untuk secara langsung menunjukkan kepada para peserta hasil dari aktifitas pengelolaan sampah terpadu. Sering kali, masyarakat di area proyek percontohan ini secara langsung menyediakan pelatihan untuk masyarakat dari daerah lain. Sesi pelatihan disimpulkan melalui diskusi mengenai bagaimana peserta mampu mengadopsi kegiatan-kegiatan ini di tempat tinggal mereka. Pelatihan dan pendidikan lingkungan hidup juga diadakan di sekolah-sekolah. Di beberapa sekolah, para pelajar telah memulai sebuah sistem baru dalam pengelolaan sampah termasuk pengomposan di kebun sekolah.

1.2.    Kampanye Komunikasi

Menurut Shea dan Townsend (2005), kampanye komunikasi yang paling sukses adalah mendifinisikan dengan tepat target komunikasi mereka dan membangun pesan-pesan yang sesuai untuk mereka. Dalam hal ini, target komunikasi di dalam pembelajaran ini sudah bisa diidentifikasikan dengan mudah, yaitu remaja.

Shea dan Townsend (2005) juga menekankan tiga tujuan dari kampanye komunikasi pada umumnya – apa yang harus dicapai:

1.    Meningkatkan kesadaran: meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang suatu permasalahan atau menciptakan pengetahuan baru. Jika apa yang sebenarnya kita cari adalah keterlibatan masyarakat – remaja – dalam pembangunan berkelanjutan, maka perubahan sikap atau perilaku merupakan target yang lebih tepat.

2.    Perubahan sikap: merubah cara bagaimana masyarakat berpikir dan merasakan suatu permasalahan. Sedangkan perubahan sikap bisa menjadi sebuah pemicu untuk perubahan perilaku, hal itu tidak menjamin. Perubahan sikap melakukan, bagaimanapun, memiliki satu peranan penting dalam menyiapkan inisiatif kebijakan baru. Hal ini dapat membantu memastikan persetujuan terhadap legislasi baru, seperti halnya kewajiban mengenakan sabuk pengaman.

3.    Perubahan perilaku: mempengaruhi kegiatan masyarakat terkait dengan suatu permasalahan. Dalam hal ini usaha-usaha harus difokuskan jika kita ingin meraih tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. Bagaimanapun juga, ini merupakan pendekatan jangka panjang, terkadang memakan waktu satu generasi untuk merasakan dampaknya.

UNESCO Jakarta bekerjasama dengan Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA/Warta Bumi menerbitkan bulletin Lautku (Wirjoatmodjo, 2002). Hal ini merupakan salah satu sarana komunikasi untuk pendidikan lingkungan hidup, khususnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kelautan.

Buletin ini diterbitkan sejak Agustus 1999, hanya dengan delapan halaman dan tampak warna-warni ini sengaja dicetak cukup sederhana dengan target pembaca generasi muda – remaja. Buletin ini berisi tulisan dalam Bahsa Indonesia yang mudah dibaca, foto, sketsa dan karikatur. Buletin ini bertujuan menambah wawasan remaja, khususnya pelajar SMU dan anggota Pramuka, mengenai lingkungan laut dan pembangunan berkelanjutan.

Beberapa praktik kampanye komunikasi di atas sangat membantu untuk meningkatkan partisipasi remaja dalam pembangunan lingkungan hidup berkelanjutan, khususnya di Kampung Banjarsari.

1.3.    Partisipasi Remaja

Keterlibatan yang berarti dari generasi muda – remaja – di dalam kegiatan pelayanan dan pembelajaran-pelayanan dengan peningkatan dilihat sebagai mata rantai pembangunan generasi muda. Penelitian pembelajaran mendukung hubungan antara kesempatan untuk generasi muda untuk mengkontribusikan keahlian mereka melalui pelayanan dan hasil perilaku positif termasuk rasa memiliki, prestasi akademis yang lebih tinggi, peningkatan keyakinan diri dan penurunan kegiatan yang merugikan (Scales, P., & Roehlkepartain, E. 2004; RMC Corporation, 2005).

Data dari “Independent Sector” juga menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang terlibat di dalam pelayanan pada usia dini mengarah kepada internalisasi sikap filantropis yang berlangsung hingga usia dewasa dan diturunkan ke generasi berikutnya (Toppe, C., & Golombek, S., 2002).

Lebih jauh, menurut Golombek (2005), Pelayanan Remaja Amerika yakin bahwa usaha bersama atau gabungan antara berbagai elemen masyarakat untuk memotivasi dan mendukung partisipasi generasi muda dalam kegiatan kemasyarakatan, akan mengarahkan ke komunitas yang lebih kuat, sehat dan demokratis – dalam esensi, satu budaya di mana generasi muda adalah warga negara yang dilibatkan.

Keyakinan ini direfleksikan di dalam teori perubahan mereka yang menyatakan asumsi mengenai berbagai program dan hasil yang diharapkan. Secara spesifik dirumuskan untuk Hari Pelayanan Remaja, teori perubahan dinyatakan sebagai berikut:

Jika kita memimpin di dalam kampanye terkoordinasi untuk melibatkan remaja sebagai para pemimpin dari berbagai proyek pelayanan dengan melibatkan media dan pembuat kebijakan dan dengan menyediakan dukungan pragmatis, peraturan tertulis, dan pendanaan, maka kita akan menciptakan lingkungan yang mendukung di mana generasi muda diakui sebagai pemimpin dan model peranan positif di mata orang dewasa, media dan pembuat kebijakan.

Teori-teori mengenai partisipasi remaja di atas  mendukung peningkatan peran serta remaja di setiap aspek pembangunan, khususnya pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Jika generasi muda diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin, maka mereka akan memotivasi generasi muda lainnya untuk lebih terlibat dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan lainnya.

2.    Kajian Pendapat

“Kami ingin menciptakan lingkungan yang bersih, ramah dan sehat,” ujar Pak Bambang Wahono, suami Bu Harini dan ketua Komite Lingkungan kampung sejak didirikan 1996.

Keinginan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman untuk ditempati merupakan motivasi awal untuk meningkatkan kesadaran lingkungan dan keterlibatan dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Dengan dasar yang sama, para remaja dimotivasi dan didukung untuk menciptakan inisiatif untuk berperanserta dalam penanganan masalah lingkungan.

“Masalah sampah merupakan masalah kita semua. Kita bisa bergandeng tangan dengan masing-masing yang kita punyai. Kita bisa saling memberi informasi,” ujar Sri Bebassari, ahli manajemen dan teknologi limbah padat, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolgi (BPPT).

Dengan adanya informasi, warga, khususnya remaja, semakin termotivasi untuk lebih terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Di sini diperlukan kemampuan untuk menentukan model informasi atau kampanye komunikasi yang cocok dan sesuai untuk remaja. Jika kampanye komunikasi yang dipilih sesuai dengan karakteristik remaja, maka partisipasi remaja akan dengan mudah ditingkatkan.

Para rekan kelompok remaja menjadi pelatih dalam Pusat Kegiatan Daur Ulang (PKDU) berikut tempat pembibitan tanaman yang didirikan dengan bantuan UNESCO dan Yayasan Kirai Juni 1999. Pengembang PT Indoland Jaya menyediakan tanah untuk bangunan pusat dan menawarkan berbagai pelatihan. Ujang salah satu peserta pelatihan mengatakan, “Saya ingin menyumbangkan ilmu untuk masyarakat lewat pelatihan dan menyerap ilmu baru lewat seminar dan studi banding.”

Semakin banyak jumlah remaja yang berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan, semakin cepat tujuan pengelolaan lingkungan hidup tercapai. Tahap pertama adalah meningkatkan kesadaran remaja akan lingkungan hidup.  Tahap berikutnya, penggunaan media kampanye komunikasi yang tepat dan sesuai untuk remaja. Dengan demikian, tingkat partisipasi remaja di dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat ditingkatkan dengan mudah. Selain itu, metode yang serupa dapat digunakan juga di daerah-daerah lain.

3.    Penelitian Sebelumnya

Wirjoatmodjo (2002) mengatakan tentang kampung impian; di tengah-tengah kehidupan kota yang kumuh ada kampung yang tampil beda. Warga kampung Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, telah membenahi lingkungannya. Mereka memiliki lingkungan yang asri dan bersih di tengah-tengah wilayah Jakarta yang umumnya panas, kotor dan berpolusi udara akibat jumlah asap kendaraan yang tinggi.

Kampung ‘impian’ itu tercipta berkat kesadaran, kepedulian serta kerja keras hampir seluruh warga kampung. Ny. Harini Bambang Wahono, 73, merupakan motivator upaya tersebut melalui wadah Komite Lingkungan yang dibentuk UNESCO Jakarta pada 1996 (Wirjoatmodjo 2002).

Berbagai cara kampanye komunikasi telah dilakukan oleh Kampung Banjarsari untuk memotivasi warganya, khususnya para remaja, untuk lebih terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup di kampung tersebut. Dari pembuatan buletin Banjarsari hingga Mading (Wirjoatmodjo, 2004).

Wirjoatmodjo juga mengatakan bahwa sebagai sarana komunikasi dan pendidikan, majalah dinding (Mading) bisa berfungsi sebagai alat yang sangat efektif dan relatif murah biayanya. Masyarakat diarahkan untuk selalu membaca dan membutuhkan informasi. Materi Mading terdiri atas: berita kampung, pengetahuan mengenai PST, berita keluarga, resep masakan, kliping (guntingan berita dari Koran atau majalah) tentang lingkungan hidup, cerita lucu dan lain sebagainya. Dari keadaan di atas, isi Mading harus diperbaharui secara rutin, misalnya sebulan sekali. Beberapa anggota masyarakat memang senang menulis dan senang melakukan ‘fungsi wartawan kampung’, jadi sebaiknya ditugaskan sebagai orang yang bertanggungjawab atas Mading.

Bisa ditelaah bahwa buletin dan Mading merupakan alat kampanye komunikasi yang sangat efektif, dilihat dari efek dan biayanya yang relatif murah. Dengan cara kampanye komunikasi efektif ini, partisipasi remaja dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Kampung Banjarsari bisa ditingkatkan secara berkelanjutan.

Dari situ, Wirjoatmodjo (2002) menyampaikan bahwa gerakan mengelola sampah secara terpadu di kampung Banjarsari melibatkan semua warga: kepala keluarga, ibu rumah tangga, remaja, anak-anak dan pembantu rumah tangga. Pengumpul sampah dan pemulung pun diajak berdialog tentang cara-cara mengurus sampah dengan lebih baik demi menjaga kelestarian, kebersihan dan keindahan lingkungan. Di sini dapat dilihat bahwa partisipasi remaja dalam pengelolaan sampah secara terpadu di Banjarsari sudah ada dan mereka sungguh berpartisipasi aktif dalam kesuksesan Banjarsari sebagai proyek percontohan PST.

Pada tahun 2002, Dinas Pariwisata DKI telah menetapkan Banjarsari sebagai salah satu tujuan ekowisata di Jakarta Selatan. Tentu saja salah satu faktor pertimbangannya adalah untuk menjadikan proyek ini sebagai media pendidikan lingkungan hidup bagi masyarakat banyak. Dengan mengunjungi Banjarsari, diharapkan masyarakat memperoleh inspirasi untuk berbuat serupa di lingkungan mereka masing-masing (Wirjoatmodjo, 2004).

Lebih jauh lagi, perjalanan dan perkembangan Kampung Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan dari proyek percontohan pengelolaan sampah terpadu sampai menjadi salah satu situs ekowisata di Jakarta Selatan tidak lepas dari partisipasi warga, khususnya para remaja. Dalam jangka waktu 6 tahun (1996-2002), Banjarsari telah mampu membuktikan bahwa dengan kemauan tinggi dan keterlibatan seluruh warga, khususnya remaja, mereka berhasil menjadi proyek percontohan PST yang didukung oleh UNESCO Jakarta. Keberhasilan ini diikuti oleh pengembangan konsep serupa di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

III. Metode Penulisan

Standard

1.    Metode Penelitian

Metode pengkajian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sedangkan tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif, di mana peneliti-peneliti mendeskripsikan atau mengkonstruksikan wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Di sini penulis bertindak sebagai fasilitator dan realitas dikonstruksikan oleh subjek penelitian. Selanjutnya penulis bertindak sebagai aktivis yang ikut memberi makna secara kritis pada realitas yang dikonstruksi subjek penelitian.

2.    Subjek Penelitian

Lokasi penelitian di lakukan di Kampung Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Dengan alasan daerah ini mempunyai tiga unsur yang menarik minat penulis, yaitu lingkungan hidup, kampanye komunikasi dan partisipasi remaja. Selain itu, menurut Wirjoatmodjo (2004) pemilihan wilayah Banjarsari berdasarkan usulan dari LSM Yayasan Kirai Indonesia dan atas dasar beberapa pertimbangan antara lain:

1.    masyarakat Banjarsari bersifat heterogen, baik dari segi pendidikan, ekonomi , maupun budaya;
2.    pemuka masyarakat Banjarsari terbuka untuk menerima hal-hal baru;
3.    letak Banjarsari cukup mudah dicapai dengan transportasi umum sehingga cocok untuk dijadikan lokasi proyek percontohan yang bertujuan untuk menjadi tempat belajar bagi banyak orang;
4.    dalam suatu pelatihan yang diadakan UNESCO, dari sekian banyak peserta, tim Banjarsari yang dikoordinir oleh Ibu Bambang Wahono, telah menunjukkan bahwa mereka bersungguh-sungguh dalam menelaah program yang diperkenalkan.

Populasi penelitian ini adalah para remaja (berusia antara 18-24) dan para penggerak program pengelolaan lingkungan hidup di kampung Banjarsari. Sementara itu, subjek penelitian populasi sasaran penelitian ini ditentukan berdasarkan teknik purposif, karena tidak adanya kerangka sampling dari seluruh unsur yang terdapat dalam populasi tersebut. Dari sini subjek akan dipilih secara purposif sesuai dengan keperluan karena yang digali dalam penelitian ini adalah kedalaman informasi, bukan kuantitas responden. Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah:

1.    Remaja berusia 18 – 24 tahun (sesuai dengan definisi PBB mengenai usia remaja);
2.    Warga penggerak program proyek percontohan pengelolaan sampah terpadu.

3.    Teknik Pengumpulan Data dan Informasi

Data dikumpulkan melalui wawancara yang mendalam dengan setiap subjek penelitian. Wawancara ini dilakukan secara tatap muka antara peneliti dan responden dan melalui telepon (phone interview). Di sini peneliti bertindak sebagai instrumen utama penelitian.

Selain itu, selama program magang di UNESCO Jakarta, beberapa bahan terkait lingkungan hidup dan juga Banjarsari sebagai proyek percontohan PST dikumpulkan untuk mendukung penyelesaian penulisan esai ini.

Penelitian untuk penulisan esai ini dilakukan secara praktis bersamaan dengan penelitian untuk penulisan skripsi di area yang sama – Kampung Banjarsari – yang diadopsi oleh UNESCO Jakarta sebagai proyek percontohan PST. Sebagai hasilnya, masyarakat di kampung Banjarsari mampu menghasilkan produk-produk lingkungan hidup mereka sendiri untuk meningkatkan kapasitas ekonomi warga melalui perputaran aktifitas yang memiliki nilai tambah di antara warga mereka. Keberhasilan program-program ini didukung secara mandiri oleh pemikiran luas mengenai pendekatan komunikasi sosial warga.

Beberapa penelitian lapangan dilakukan dalam beberapa hari di kampung yang bersangkutan. Peneliti mengamati program kampanye komunikasi sehari-hari yang dilakukan oleh warga dan menganalisa apa yang dilakukan dan bagaimana hal itu dilakukan. Lebih jauh, peneliti juga mengumpulkan karakteristik sosial dan demografis dari kampung Banjarsari.

Di samping melakukan penelitian lapangan, beberapa informasi dikumpulkan dari institusi dan/atau organisasi terkait dengan tujuan untuk mendukung dan memperkuat ketepatan dan kredibilitas dari hasil penelitian. Cara lain mengumpulkan data dan informasi yaitu dengan berkonsultasi dengan para pakar (profesional, praktisi dan dosen) di bidang komunikasi, lingkungan hidup dan kepemudaan.

4.    Pengolahan Data dan Informasi

Data dan informasi diolah dengan membandingkan dan mempertentangkan hal-hal yang ekstrim dan memilih kunci-kunci perbedaan yang muncul dalam setiap kategori. Selain itu, pengolahan data dan informasi dilakukan dengan menulis rangkuman singkat (overview) mengenai data yang telah terkumpul untuk setiap kategori. Selain itu, pembelajaran ini akan digabungkan dengan beberapa bahan yang didapatkan dari penulisan-penulisan esai, seminar, workshop mengenai lingkungan hidup dan juga keikutsertaan penulis pada “Eco-Camp” Duta Belia Lingkungan Hidup Bayer 2006 yang lalu, tepatnya mengenai peranan remaja di dalam pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Hasil penelitian juga akan dikombinasikan dengan semua data dan contoh-contoh kasus yang ada selain dengan bahan yang telah dikumpulkan selama program study banding lingkungan hidup di Jepang tahun 2002 dan 2005 juga penelitian praktis mengenai komunikasi lingkungan hidup di Korea Selatan bulan Juli hingga Agustus 2006. Di sini peranan kampanye komunikasi pada pembangunan lingkungan hidup akan lebih jauh dijabarkan.

5.    Teknik Analisis-Sintesis

Analisis data dalam pendekatan kualitatif-konstruktivis didahului oleh upaya mengungkap tingkat kepercayaan (trustworthiness) para subjek penelitian dengan cara menguji kebenaran dan kejujuran subjek penelitian dalam mengungkap realitas. Tingkat kepercayaan ini diuji melalui pengujian: kredibilitas subjek, dengan menguji jawaban-jawaban atas pertanyaan berkaitan dengan pengalaman dan pengetahuan mereka yang khas. Berikutnya adalah menguji autentisitas, yaitu peneliti memberi kesempatan dan memfasilitasi pengungkapan konstruksi personal yang lebih detail. Selanjutnya peneliti melakukan triangulation analysis, yaitu menganalisis jawaban subjek penelitian dengan meneliti autentisitas berdasar data empiris yang ada. Peneliti menjadi fasilitator untuk menguji keabsahan setiap jawaban berdasarkan dokumen atau data lain, serta alasan (reasoning) yang logis. Tahapan berikut adalah melakukan intersubjectivity analysis, artinya semua pandangan, pendapat ataupun data dari suatu subjek penelitian, dikomunikasikan dengan pendapat, pandangan, ataupun data dari subjek lainnya.

Hasil wawancara ini kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dengan menggunakan kategori-kategori analisis (filling system) yang telah ditentukan dalam analisis domain seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:

Analisis Domain    Analisis Taksonomik
•    Status Sosial Ekonomi
•    Klasifikasi dalam Masyarakat

•    Terpaan Kampanye Komunikasi
•    Jenis Media
•    Opini tentang Kampanye Komunikasi Lingkungan Hidup
•    Sikap

•    Perilaku Partisipasi
•    Alasan Berpartisipasi    Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan
Anggota Komite Lingkungan, Aktif di Karang Taruna, organisasi lingkungan

Tinggi, Sedang, Jarang
Buletin, Mading, Brosur

Suka, Tidak Suka, Netral
Program Lingkungan Hidup, Anggota Komite, Platform Kegiatan
Ragam Kegiatan dalam Program
Berbagai Alasan Berpartisipasi

6.    Pengambilan Simpulan

Kesimpulan diambil setelah mengintegrasikan semua temuan data dengan interpretasi peneliti dan konsep-konsep kunci dalam draft atau format yang berbeda atau lain (Kriyantono, 2006).

7.    Perumusan Saran dan Rekomendasi

Saran dan rekomendasi dirumuskan dengan merujuk pada kesimpulan yang dibuat berdasarkan analisis data dan informasi.

IV. Pembahasan

Standard

Bab ini terdiri dari kesimpulan dari pembelajaran, kritik-kritik dari pembelajaran, batasan-batasan dan saran-saran untuk pembelajaran dan/atau penelitian lebih lanjut. Selain itu, bab ini mengulas lebih jauh tentang hasil penelitian – wawancara telepon – dan juga pengolahan data serta perumusan simpulan dan saran untuk pengembangan pembelajaran serupa di masa yang akan datang.

1.    Analisis Permasalahan

Karakteristik dan ciri demografis Kampung Banjarsari yang dipaparkan dalam bab sebelumnya menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah tersebut adalah masyarakat yang heterogen, dilihat dari tingkat pendidikan, pekerjaan dan ekonomi. Hal ini tentunya mempengaruhi para remaja di Banjarsari dalam menyikapi status kampung ini sebagai proyek percontohan PST.

Selain itu, para pemuka masyarakat sangat terbuka dalam menerima pemikiran-pemikiran baru mengenai pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Sikap ini juga mempengaruhi kesempatan yang diberikan oleh Komite Lingkungan kepada remaja untuk berpartisipasi dalam pengelolaan PST sehingga akhirnya di tahun 2002 Banjarsari diangkat menjadi salah satu situs ekowisata.

Hal positif lainnya ialah lokasi Banjarsari yang mudah dicapai dengan transportasi umum sehingga jumlah orang yang berkunjung ke kampung ini semakin banyak dari hari ke hari untuk belajar dan mengikuti pelatihan pengelolaan sampah terpadu dan daur ulang. Sejalan dengan semakin tingginya animo pengunjung yang datang ke kampung ini, semakin banyak pengaruh dari luar masuk ke dalam kampung dan mempengaruhi karakteristik demografis Banjarsari. Ternyata, kampanye komunikasi yang diterapkan oleh Komite Lingkungan mampu menarik perhatian banyak pengunjung dari wilayah lain di Jakarta maupun dari kota-kota lain di Indonesia.

Lebih jauh lagi, tingkat inisiatif dan kesadaran warga Banjarsari yang tinggi akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup mendukung kesuksesan proyek percontohan pengelolaan sampah terpadu ini menjadi situs ekowisata yang ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah di Indonesia. Banjarsari pun akhirnya menjadi pusat pelatihan PST bagi para pengunjung yang ingin mengembangkan konsep ini di daerah mereka masing-masing.

Dari keempat pokok bahasan di atas, keberhasilan mereka dalam mengelola lingkungan hidup tidak lepas dari metode kampanye komunikasi yang mereka gunakan sejak dari pembuatan buletin hingga selebaran (leaflets) berwarna. Dinas Pariwisata DKI juga membuat brosur wisata hanya karena Banjarsari ditetapkan sebagai tujuan ekowisata.

Kampanye komunikasi yang dilakukan oleh tiga pihak sekaligus: Komite Lingkungan (warga), UNESCO kantor Jakarta dan Dinas Pariwisata DKI merupakan kombinasi pemikiran yang kuat. Kampanye komunikasi yang dibuat dari hasil pemikiran warga, pemerintah dan organisasi internasional merupakan nilai tambah untuk meningkatkan kualitas metode kampanye komunikasi yang digunakan untuk mendorong partisipasi remaja.

Wirjoatmodjo (2004) mengatakan bahwa dari tahun ke tahun, jumlah warga yang aktif melakukan pembibitan dan menjual tanaman obat terus bertambah. Berdasarkan pernyataan ini, dapat dianalisa dan simpulkan bahwa partisipasi remaja pun meningkat dari tahun ke tahun.

Kampanye komunikasi yang efektif dan sesuai dengan karakteristik remaja – generasi muda, mampu mendorong dan mendukung mereka untuk lebih terlibat dalam pengelolaan PST. Kampanye komunikasi tepat guna harus direncanakan dengan cermat agar mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan.

Analisis domain yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil penelitian mengkategorikan beberapa hal sebagai indikator tingkat partisipasi remaja dan juga efektifitas kampanye komunikasi yang digunakan untuk pembangunan lingkungan hidup.

Kategori pertama, yaitu status ekonomi yang menganalisis pendidikan, pekerjaan dan penghasilan warga, khususnya remaja berpengaruh pada efektifitas kampanye komunikasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan warga dan/atau remaja akan mendorong tingginya partisipasi mereka dalam pembangunan lingkungan hidup.

Kategori kedua, yaitu klasifikasi dalam masyarakat yang mendeskripsikan apakah mereka tergabung di dalam keanggotaan Komite Lingkungan, Karang Taruna ataupun organisasi lingkungan lokal, yang juga turut mempengaruhi tingkat partisipasi remaja dalam program PST. Remaja yang tergabung di dalam keanggotaan organisasi di atas akan berpartisipasi lebih intensif dibandingkan dengan remaja yang tidak tergabung dalam organisasi manapun.

Kategori yang ketiga adalah tingkat terpaan kampanye komunikasi yang digunakan baik untuk meningkatkan partisipasi remaja maupun untuk mempromosikan program PST di Banjarsari. Tingkat terpaan yang tinggi akan mempengaruhi kenaikan jumlah partisipasi remaja. Sebaliknya, tingkat terpaan rendah/jarang hanya mempengaruhi sebagian kecil peningkatan partisipasi.

Jenis media yang digunakan dalam kampanye komunikasi merupakan kategori kelima yang kita gunakan untuk menganalisa partisipasi remaja. Media yang digunakan adalah buletin, mading dan brosur. Sesuai dengan karakteristik remaja yang menyukai hal-hal yang ekspresif dan partisipatif, membuat buletin merupakan media yang efektif dalam kampanye komunikasi. Di sini mereka terlibat sebagai wartawan kampung yang bertugas untuk mengumpulkan dan menulis berita di buletin.

Kategori berikutnya yaitu opini tentang kampanye komunikasi lingkungan hidup. Semakin menarik kampanye komunikasi itu dikemas dan semakin  banyak partisipasi remaja dalam program ini, remaja akan menunjukkan sikap kesukaan mereka terhadap program kampanye komunikasi yang dilakukan. Dalam hal ini, kampanye komunikasi harus membuat target spesifik yaitu remaja.

Kategori berikut yang ditekankan adalah sikap remaja terhadap program lingkungan hidup, keanggotaan Komite Lingkungan dan platform kegiatan. Semakin menarik program lingkungan hidup dikemas, semakin tinggi tingkat partisipasi remaja. Selain itu, jika program tadi ditujukan untuk remaja dan disusun sedemikian rupa sehingga mendorong remaja untuk lebih terlibat maka partisipasi remaja akan meningkat.

Kategori ketujuh dari analisis domain ini adalah perilaku partisipasi. Hal ini tergantung dari keragaman program kampanye komunikasi yang dibuat dan dikemas oleh Komite Lingkungan. Dengan beragamnya program yang dibuat mulai dari tour keliling kampung hingga akhir pekan keluarga (family weekend), tingkat partisipasi remaja meningkat seiring dengan bertambahnya ragam kegiatan yang ditawarkan oleh Komite Lingkungan Banjarsari.

Kategori kedelapan (terakhir) adalah alasan remaja berpartisipasi. Terdapat beragam alasan mengapa mereka berpartisipasi dalam program PST, mulai dari ingin menambah ilmu dan membagikannya kepada orang lain hingga berpartisipasi karena ajakan teman. Semakin banyak alasan berpartisipasi tersedia, semakin tinggi tingkat partisipasi remaja.

2.    Simpulan

Dari hasil analisis permasalahan di atas, dapat disimpulkan delapan hal utama yang dibuat berdasarkan kategori-kategori analisis yang digunakan.

Tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan remaja berpengaruh pada tingkat partisipasi mereka dalam pembangunan lingkungan hidup. Selain itu, klasifikasi mereka di dalam struktur masyarakat, apakah mereka anggota Komite Lingkungan, Karang Taruna ataupun organisasi lingkungan sangat berpengaruh kepada intensitas dan frekuensi mereka untuk berpartisipasi di dalam kegiatan pembangunan lingkungan hidup – PST – Banjarsari.

Tingkat terpaan kampanye komunikasi yang ditujukan untuk remaja juga mempengaruhi keikutsertaan mereka dalam program-program pengelolaan sampah terpadu di Banjarsari. Analisis permasalahan yang disrumuskan di atas juga mengindikasikan bahwa jenis media yang digunakan dalam kampanye komunikasi juga berpengaruh pada kenaikan jumlah partisipasi remaja dalam pembangunan PST Banjarsari menjadi situs ekowisata di Jakarta Selatan.

Lebih jauh, opini remaja mengenai kampanye komunikasi lingkungan hidup yang digunakan juga menentukan tingkat partisipasi mereka dalam menyukseskan proyek percontohan PST Banjarsari. Kesukaan dan/atau ketidaksukaan remaja terhadap kampanye komunikasi yang digunakan merupkan hal yang esensial yang mempengaruhi peran serta mereka di dalam pembangunan lingkungan hidup.

Selain itu, bagaimana program kampanye komunikasi lingkungan hidup itu dikemas berpengaruh pada pola pikir remaja dalam berpartisipasi. Semakin menarik program dikemas semakin banyak remaja akan berpartisipasi dalam pembangunan lingkungan hidup. Tidak hanya itu, perilaku remaja terhadap kampanye komunikasi yang digunakan juga menentukan seberapa tinggi mereka akan berpartisipasi.

Kesimpulan terakhir dari analisis permasalahan ini adalah mengenai alasan remaja berpartisipasi dalam pembangunan lingkungan hidup – PST – Banjarsari menjadi situs ekowisata. Semakin banyak kampanye komunikasi menyediakan alasan untuk remaja berpartisipasi, semakin kecil kemungkinan mereka untuk menghindar dan mencari alasan untuk tidak berpartisipasi.

Simpulan-simpulan di atas dibuat untuk mempermudah perumusan saran dan/atau rekomendasi yang diberikan di bagian selanjutnya.

3.    Saran

Merujuk ke simpulan di atas, dirumuskan beberapa saran dan rekomendasi berupa kemungkinan atau prediksi transfer gagasan dan adopsi teknolgi dengan merujuk ke delapan kategori yang digunakan:

1.    Remaja hendaknya tidak hanya menempuh pendidikan sampai tingkat lanjutan atas tetapi sebaiknya melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang universitas untuk lebih mendapatkan gambaran dan transfer ilmu pengetahuan yang lebih mendalam tentang pentingnya pembangunan lingkungan hidup oleh generasi muda;
2.    Remaja juga hendaknya berinisiatif untuk bergabung ke dalam keanggotaan organisasi kepemudaan seperti Karang Taruna ataupun organisasi lingkungan hidup. Jika memungkinkan, di dalam Komite Lingkungan Banjarsari, disusun panitia tersendiri yang mengurus masalah kepemudaan dan partisipasi mereka di dalam program PST;
3.    Tingkat terpaan kampanye komunikasi hendaknya ditingkatkan menjadi lebih rutin untuk meningkatkan kesadaran warga, khususnya kesadaran remaja akan pentingnya berpartisipasi dalam kegiatan PST. Misalnya, penerbitan Buletin Banjarsari setiap dua minggu sekali;
4.    Kualitas media kampanye komunikasi yang telah digunakan hendaknya lebih ditingkatkan. Misalnya, remaja diberikan pelatihan Desktop Publishing dan diberikan kesempatan untuk menerbitkan Buletin Banjarsari. Dari sini akan terjadi transfer teknologi komunikasi informasi yang mampu mendukung pembangunan lingkungan hidup berkelanjutan.
5.    Kampanye komunikasi yang digunakan hendaknya dikemas sebaik mungkin untuk memberikan pengaruh opini remaja atas kesukaan mereka terhadap program ramah lingkungan dan PST.
6.    Jika remaja diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dan turut serta di dalam proses pembuatan keputusan, maka remaja juga akan menggunakan kesempatan tersebut dan menunjukkan bahwa mereka mampu menjalankan tugas-tugas yang diberikan. Hal ini tentunya akan mengubah sikap, perilaku dan alasan remaja untuk berperan aktif dalam pembangunan PST Banjarsari menjadi situs ekowisata di Jakarta Selatan

Daftar Riwayat Hidup

Standard

Mohammad Reiza dilahirkan di Surabaya, 17 Desember 1983. Penulis mengenyam pendidikan di Surabaya, yaitu SDN Kaliasin IV/283, SMP Negeri 1, SMU Negeri 6 dan saat ini sedang menyelesaikan tugas akhir program S1 Program Studi Ilmu Komunikasi Hubungan Masyarakat – Public Relations – Universitas President, Bekasi.

Penulis telah banyak berpengalaman di bidang komunikasi, diantaranya melakukan program magang di Corporate Communication PT Cardig International, Jakarta; Events Department British Chamber of Commerce in Indonesia (Kamar Dagang dan Industri Inggris di Indonesia), Jakarta; dan Unit Komunikasi dan Informasi UNESCO Jakarta. Selain itu, penulis saat ini menjadi konsultan komunikasi freelance.

Lebih jauh lagi, penulis juga mendapatkan banyak pengalaman di bidang lingkungan hidup, menjadi Duta Remaja Indonesia – lingkungan hidup – ke Jepang tahun 2002 yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional, APRINDO dan AEON 1% Club, Jepang dan tahun 2005 kembali ke Jepang untuk mengikuti Pertemuan Alumni Duta Remaja lingkungan hidup yang diikuti oleh 11 negara. Tahun 2006, penulis mengikuti Eco-Camp Bayer Young Environmental Envoy yang diadakan oleh PT Bayer Indonesia. Pada tahun yang sama, penulis juga mengadakan penelitian lapangan mengenai komunikasi lingkungan hidup di Korea Selatan.

Beberapa karya ilmiah (baik artikel maupun hasil penelitian) yang pernah dibuat dan diikutsertakan pada beberapa lomba menulis, antara lain Indonesien auf Einen Blick, dalam bahasa Jerman, diikutsertakan pada lomba karya tulis nasional dalam bahasa asing diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional tahun 2002 dan meraih juara 1; Sustainable Living through Youth Empowerment pada President Scientific Journal – President University; dan beberapa artikel lainnya mengenai lingkungan hidup dan komunikasi yang dimuat di President University Newsletter, Cikarang Pos, Cardig News dan CI Unit UNESCO Newsletter.

Selain itu, penulis mempunyai pengalaman di bidang jurnalistik: pernah menjadi jurnalis senior di President University Newsletter, redaktur Cikarang Pos, Cardig News dan CI Unit UNESCO Newsletter.

Indonesien Auf Einen Blick

Standard

Indonesien ist ein Entwicklungsland in Süd-Ostasiens und besteht aus 13667 Inseln, von denen 6000 unbewont sind. Tausende Inseln sind zu einer riesigen Nation zusammengeschlossen, die aus vielen verschiedenen ethnischen Gruppen, Religionen, und Kulturen besteht. Das Land bietet eine üppige Flora und Fauna. Der indonesische Archipel ist der Schnittpunkt zwischen Asien und Australien, wo sich 2 Weltmeere, der Indische Ozean und der Pazifik vereinigen. Auf Java, findet man die Hauptstadt von Indonesien, Jakarta. Die zweite gröβte Stadt als auch die Hauptstadt von Ost-Java ist Surabaya. Deshalb ist Java das komerzielle Zentrum von Indonesien.

Das kulturelle Zentrum findet man in Yogyakarta, zum Beispiel Kraton, der Palast des ehemaligen Sultans von Yogyakarta. Dort kann man sanfte und melodische Gamelan – Musik hören, welche ein ständiger Begleiter überall auf Java ist. Auch die Batik-Kunst hat seinen Ursprung auf Java und wird heutzutage überall auf dem gesamten Archipel gefertigt. In Muntilan befindet sich Borobudur, ein weiteres javanesisches Kulturerbe, welches zu den sieben Weltwundern zählt. Die javanische Kultur ist so vielfältig, wie die unzähligen Zeremonien und Feste.

Ich möchte in diesen Aufsatz „Die Toten Zeremonie“ der javanischen Kultur etwas näher beschreiben. Die Geburt eines Menschen, die für den Javanesen kein erster Eintritt in eine unbekannte Welt ist, so stellt auch bedeutet der Tod kein endgültigen Abschied dar. Selbst die letzten Reinigungen der Seelen kommt nach javanischen Glauben keine Endgültigkeit zu. Da sich alles wiederholt und nicht’s verlorengeht. Ist ein Javaner gestorben, so versammeln sich die Verwandten und seine Freunde im Sterbehaus, um von dem Toten Abschied zu nehmen. Sie bringen gewönlich Reis, Geld oder Nahrungsmittel, wie es nach alter Sitte übblich ist. Diese Brauch wird „Melayat“ genannt. Und diesen Vorfall nennt man „Kesripahan“. Die Wanderung des Toten in die Welt der Gestorbenen brauct sehr viel Zeit. Dem verstorbenen stehen dort, die von seinen Verwandten und Freunden gebrauchten Opfergaben zur Verfügung. Bei dieser Zeremonie gibt es mehrere religiöse Mahlzeiten. Nachdem der Tote begraben wurde, wird die religiöse Mahlzeit „Surtanah“ vorbereitet. Diese Zeremonie hat die Bedeutung, dass Gott den Verstorbenen selig hat; die anderen Mahlzeiten nennt mann : Nelung Dina (Dritte Tag-Zeremonie); Mitung Dina (Siebste Tag-Zeremonie); Matang Puluh Dina (Vierzigste Tag-Zeremonie); Nyatus Dina (Hundertste Tag-Zeremonie); Nyewu Dina (Tausendste Tag-Zeremonie); und Kol : nach Nyewu Dina Zeremonie gibt es eine Zeremonie, die man Kol nennt. Das Fest findet normalerweise gleichzeitig mit dem Absata (Totestag).

Vorwort

Standard

Gott sei Dank, dass ich schlieβlich diesen Aufsatz fertig schreiben konnte. Dieser Aufsatz wird von den Ausländerinnen benötigt, die über die indonesische Kultur, beziehungsweise über die javanische Kultur lernen möchten. In diesem Aufsatz können sie, etwas über die Totenzeremonie von javanischen Leuten lesen.
Der Verfasser hofft, dass die Leser, beziehungsweise Leserinnen, eine Menge über die Vielfaltkultur-Indonesiens erfahren.

Surabaya, 28. April 2002

Mohammad Reiza