Category Archives: Journey

I look for people – Vacancy

Standard

hi there,

I’m back again after more than a month being absent in this cyber world.

I have to post this urgency as these are most wanted.

I am looking for:
1. A Woman, good or expert in mathematics, S1 – undergraduate degre in related major, willing to work in Cikarang as the teacher head of newly open Kumon, mathematic course. If you are interested, find out my contact number on this weblog. – Urgent

2. A Man, undergraduate or postgraduate, expert in social studies, willing to work in cikarang. as Corporate Social Responsibility (CSR) manager position in a developer company in cikarang , age between 25-35 years old. Could be Indonesian or foreigner. – Urgent.

If you are meeting those criteria above, contact me in advance.

Regards,

Reiza

Back to President Campus

Standard

Friday, March 2

after going through a 4-month time internship in UNESCO Office Jakarta, I eventually go back to my campus to finish my bachelor study. A feeling of going back to the past. Even though I always bear in mind that there is no turning back in this life.

I still have 5 classes to take and my undergraduate thesis to finalize. It’s tough time to adjust myself again to the slow life in Cikarang, for another 4 – 5 months. It won’t be long, I know. I simply need to follow this through.

I feel so hard. Even though it was only four months in UNESCO Office Jakarta, the memories, the experiences and the knowledge remain unforgettable. They filled almost every part of my mind and spirit – my life. I know that it was my way, it was my path. It’s my life and I have to build it from now on.

Going back to Cikarang, to President University campus is another four months ahead to open the door of my whole new life. I must be patient to go through all of these.

finishing my study will release another responsibilities and giving me new capacity to welcome and enter working life throughout the world.

Study hard and smart to welcome your future!

Cheers, Reiza

Banjir di Kota Jababeka, Cikarang – Bagian 2

Standard

Jumat, 2 Februari 2007

Sesampainya di atas aku hanya bisa berdoa dan bersyukur bahwa akhirnya aku bisa menyelamatkan diri dan beberapa orang lainnya, meskipun aku sempat terseret arus yang cukup kencang menuju ke aliran sungai yang membelah Kota Jababeka, tapi untunglah ada seseorang yang menarik dan menyelamatkanku.

Saat itu aku sudah berpikir panik dan rasanya ingin berteriak dan menangis. Mungkin seperti ini orang-orang di Banda Aceh pada saat Tsunami menghantam Propinsi di ujung barat Indonesia. Aku berbicara dan terdengar sekali bahwa suaraku bergetar, ketakutan dan kedinginan – panik.

Aku pun mulai bertanya-tanya kepada beberapa orang warga termasuk penjaga kamar kos, mas Aza apakah semua orang bisa diselamatkan dengan kondisi seperti itu. Andaikan aku bisa bangun dan mengevakuasi diri lebih awal, tapi itu sudah rencana Yang di atas.
Akupun juga bertanya-tanya apakah ada anggota dari kantor Polres Bekasi yang letaknya sangat dekat dari perkampungan Blok1 yang membantu warga untuk evakuasi, ternyata tidak. Aku bertambah marah. Dan aku hanya melihat beberapa orang satpam berjalan dan melihat orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri mereka. Aku sangat marah.

Dengan suara serak-serak panikku, aku datangi salah satu orang yang tampaknya anggota polisi, yang hanya duduk di dalam mobilnya sambil memegangi radio penghubungnya. “Pak, tolong lah pak, banyak sekali orang-orang di bawah sana yang masih harus diselamatkan, arus air cukup deras dan air semakin tinggi. Banyak anak-anak, orang tua dan wanita hamil.” tetapi dia masih tampak tenang. Akhirnya, aku berusaha merogoh UNESCO ID Card ku di kantong tas bagian depanku (sebenarnya sudah berakhir per 31 Januari, sebelum kontrakku diperpanjang, aku harap ini langkah yang benar). Dan kutunjukkan padanya dan aku sampaikan bahwa aku staff UNESCO Jakarta dan aku benar-benar membutuhkan pertolongannya untuk menyelamatkan warga yang berusaha naik dan menyelamatkan diri dari kepungan air yang semakin naik dan arus yang cukup deras.

Akhirnya, dia mulai bergerak dan menjalankan mobilnya untuk mencari bantuan. Aku bersyukur. Aku tidak bisa berbuat banyak selain mencari bantuan dan menanyakan kondisi beberapa orang teman yang aku tahu, kamar kos mereka terletak di tanah yang lebih rendah. Aku berusaha menghubungi mereka dan menanyakan keadan mereka. Syukurlah mereka sudah menyelamatkan diri, tetapi air sudah menutupi daun pintu kamar kos mereka, tetapi mereka sudah mengevakuasi diri dan beberapa barang berharga mereka ke kamar kos lantai 2.

Setelah aku memastikan bahwa mereka selamat, aku pun berjalan melawan arus air yang terus naik dan menggenangi jalan di boulevard Jababeka Education Park menuju ke kantor LPPM yang tidak jauh dari sekolah Al-Azhar, karena biasanya disana ada bebrapa satpam yang berjaga dan aku kenal bebrapa satpam itu, karena mereka dulunya berjaga di asrama mahasiswa President University.

Aku berjalan dengan hanya mengenakan celana pendek yang sudah basah kuyup dan kaos putih yang sudah separuh terendam air lumpur separuh dan sandal jepit yang tali sebelah kanannya lepas menuju ke kantor LPPM untuk mencari bantuan untuk warga.

Dari kejauhan aku bisa melihat dua orang satpam yang duduk di luar kantor melihat ketinggian air yang perlahan merambat masuk ke lapangan parkir LPPM-C. Salah satu dari mereka aku kenal, syukurlah. aku akan dengan mudah berbicara dengan nya dan meminta bantuan untuk menyelamatkan warga.

Ternyata pikiranku salah, kali ini. Dia malah menertawakanku dengan kondisiku yang basah dan menenteng tas kresek putih besar dan tas ransel di punggung, serta sandal sebelah kanan yang putus. Brengsek, pikirku. Aku sedikit membentak dan berbicara dengan sedikit keras meminta supaya mereka membantu warga untuk evakuasi. Tetapi mereka hanya diam dan tertawa kecil. Aku bingung?!

Lalu aku menanyakan tentang anggota aparat di kantor Polres sebelah. Dia hanya mengatakan bahwa kantor Polres saat ini kosong. Bagaimana mungkin? dalam keadaan seperti ini mereka tidak ada? Mereka menyelamatkan warga dari arah lain. Aku berpikir, warga banyak menuju ke arah sini, tapi kenapa mereka malah berputar arah untuk menyelamtkan warga dari sebelah sana. Aku pikir mereka tidak mungkin bisa membantu.

Akhirnya aku pun berjalan kembali ke arah warga menyelamatkan diri mereka dari kepungan banjir

Aku bingung tidak tahu haru bagaimana dan harus kemana. Aku tidak memikirkan barang2ku lagi, biarlah. Yang paling penting saat ini aku sudah berhasil naik dan selamat. Aku menghubungi sopir bis Jababeka, Pak Roso dan menanyakan apakah bisa tetap jalan hari ini. Ternyata, dari suara di telepon, Pak Roso juga kebingungan menyelamatkan keluarganya dan rumahnya yang juga digenangi air setinggi perut.

Hm..aku bertambah bingung dan kacau.

Aku juga bisa melihat dari kejauhan, di bunderan golf juga sudah tergenang air yang cukup tinggi dan air mulai naik ke arah Resto Plaza.

Kondisi memang menegangkan. Tidak lama kemudian banyak aparat yang mulai dtang dan mengamankan jalan dan membantu warga yang berusaha menyelamatkan diri mereka, entah itu karena permintaanku ke polisi yang hanya duduk di mobilnya tadi atau memang itu..aku tidak tahu. tapi aku cukup senang dan lega bahwa akhirnya beberapa polisi berdatangan dan membantu.

Beberapa memblokir jalan dan menghentikan beberapa kendaraan yang berusaha melewati jalan, karena memang ketinggian air juga lumayan untuk menenggelamkan sepeda motor dan menggenangi mobil. Jalan dialihkan untuk menghindari korban dan hal-hal yang tidak diinginkan. Aku juga bisa melihat bahwa air juga perlahan masuk ke halaman parkir President University yang tidak jauh dari sungai.

Selang beberapa saat datang beberapa truk untuk membantu mengevakuasi warga, dengan sorotan lampunya menerangi jalanan yang gelap dan untuk mengikatkan tali tampar yang besar untuk berpegangan supaya tidak ada yang terseret arus yang kencang. Sedikit demi sedikit warga naik dan mereka merasa lega. Beberapa mengatakan bahwa motor mereka sudah tenggelam terendam air dan mereka tidak sempat menyelamatkan motor mereka. Beberapa hewan ternak seperti sapi, kambing dan ayam juga sudah dilepaskan tetapi tidak tahu apakah mereka mampu menyelamatkan hewan ternak mereka.

Benar-benar suasana yang mencekam di saat dini hari sebelum subuh di hari Jumat awal Februari 2007.

Banjir besar juga menerjang Jakarta dan sekitarnya tahun 2002, 5 tahun yang lalu, tetapi ini diketahui lebih parah dari banjir sebelumnya. Unbelievable. Aku ngga bisa membayangkannya.

Waktu menunjukkan jam 5 lebih dan aku melihat Ronald, mahasiswa Vietnam yang akan pergi ke Jakarta dengan bis Pak Roso, tapi aku sampaikan bahwa bis Pak Roso hari ini tidak ke Jakarta, karena Pak Roso dan kelluarga terjebak banjir dan tidak bisa menuju kampus. Akhirnya kutawarkan untuk pergi ke pintu tol bersama lalu kita naik bis ke Jakarta bersama. Akhirny, kita pun berjalan menerjang air yang mulai naik dan berusaha melewati daerah yang masih kering.

Dia tampak terkejut dengan adanya banjir seperti ini. Tapi dia mengatakan bahwa banjir tidak sampai ke asrama mahasiswa – student housing – yang ada di belakang Resto Plaza. Aku pikir pasti tempatnya lebih tinggi. Kita pun berjalan melalui trotoar yang memang lebih tinggi dari ketinggian jalan raya. Setelah melalui jalan seberang Polres Bekasi, mas Aza berlari ke arahku dan memberitahuku nomer pemilik kamar kos untuk dihubungi jika air sudah surut. Aku sedikit kuatir degan kondisinya dan keluarga, karena aku tahu bahwa adiknya sedang hamil dan dia bersama ibunya yan sudah tua.

Akku berjalan melewati pintu gerbang Jababeka Education Park dan naik ke angkot 33 menuju pintu tol Cikarang untuk naik bis ke Jakarta. sekitar 15 menit kitapun sampai di pintu tol, dan waktu menunjukkan jam 6 kurang. Tidak lama bis pun datang dan aku naik dengan keadaan yang basah kuyup dengan handsfree yang terpasang di telinga untuk mendengarkan perkembangan banjir dari radio.

Aku duduk di bagian belakang bis dan AC dinyalakan cukup dingin. Selama perjalanan aku melihat kana kiri, memang banjir dimana-mana. Ada yang mencapai ketinggian sampai 1 atap rumah, sangat parah. hampir sepanjang perjalanan dari Cikarang- Jakarta melalui Cibitung, Grand Wisata, Bekasi Timur, Bekasi Barat, Pondok Gede dan Halim. Pintu tol ke arah Tanjung Priok dari Halim juga diblokir karena air sudah menggenangi sebagian ruas jalan tol. Parah.

Ketika memasuki Kota Jakarta, hujan mulai turun dengan deras. Aku berpikir untuk kembali ke Cikarang, tetapi tidak akan mengubah keadaan. Akhirnya kupun turun di Halte bis Polda dan menunggu taxi ke kantor. Tetapi keadaan lain sekali. Aku sudah menunggu taxi selama 30 menit tetapi tidak ada satupun taxi yang berhenti. Banyak sekali orang berebut mendapatkan taxi, bahkan ada yang memanfaatkan jasa tukang ojeg payung. Akhirnya ku putuskan untuk naik ojeg ke kantor dengan kondisi yang sangat basah dan pakaian seadanya.

Akhirnya aku sampai di kantor. Aku berusaha menenangkan diri dan menyalakan komputer. Lalu aku mandi dan membilas badanku seadanya tanpa sabun atau shampoo atau pasta gigi. Aku tidak berpikiran aku harus membawa apa.

Ya, akhirnya aku di kantor dengan hanya memiliki apa yang aku pakai dan yang aku bawah di tas ranselku. Aku juga tidak mau berpikir panjang bagaimana bajijr akan menenggelamkan kamar kosku dan merusak semuanya, tetapi aku sudah sempat mengunci kamar kosku sebelum aku pergi menyelamatkan diri.

Selama perjalanan Cikarang – Jakarta, pikiranku kosong, tidak ada dan tidak memikirkan apapun, hartaku, bukuku, pakaianku, tidak sama sekali. Aku berpikir selama perjalanan bahwa mungkin seperti ini juga yang dialamai oleh orang Aceh pada saat Tsunami datang dan pergi, mereka berusaha menyelamatkan diri mereka karena takut akan datangnya gempa dan Tsunami susulan. Jalan tol cukup padat pagi itu. Aku jadi bisa merasakan ketakutan dan ketegangan film Deep Impactnya Ellijah Wood (kalau ngga salah) – yang menceritakan tentang banjir dan semua orang panik hingga akhirnya jalan tol pun padat. Atau pun film War of the Worldnya Tom Cruise – banyak orang memadati jalan tol untuk menyelamatkan diri mereka dari kejaran alien.

Well, i’m still alive rite now. this’s it. Semua cerita tentang banjir yang melanda Kota Jababeka, Cikarang yang aku alami di awal bulan Februari ini.

Aku akan menulis cerita-cerita lainnya yang berhubungan dengan banjir di Jakarta dan sekitarnya lagi di kategori Jakarta.

Thanks God, I’m alive.

Reiza

Banjir di Kota Jababeka, Cikarang – Bagian 1

Standard

Kamis, 1 Februari

Malam itu entah kenapa aku memutuskan untuk pulang ke Cikarang dan tidak bermalam di rumah saudara di kawasan Tebet, Jakarta. alasanku untuk pulang adalah untuk mengambil pakaian yang aku masukan ke laundry Cuciku di Kota Jababeka, Cikarang Bekasi. Sore itu, aku sengaja naik bis 121A kota Jababeka – Blok M, tidak naik bis Jababeka dari Menara Batavia. Aku berpikir, jika aku naik bis umum aku akan lebih cepat sampai di rumah. Sesampainya di pemberhentian bis 121 A di Kota Jababeka di seberang jalan ruko Metro Boulevard, aku naik angkot 99A aku tidak bisa melihat secara jelas A atau B, karena pada malam itu sekitar pukul 19:30 listrik di Kota Jababeka padam. Hanya sebagian bangunan pabrik dan Rumah Sakit Hosana International yang tetap menyala.

Setelah itu, aku turun di ruko Roxy dan mengantri di ATM Mandiri untuk mengambil sedikit uang cash untuk pembayaran laundry. Seharusnya aku mengambil laundry hari sebelumnya, Rabu 31 Januari. Setelah ku ambil laundry, aku berjalan di dalam gelap menujur ke Pasimal (Pasar Siang Malam), di sinilah sebenarnya pusat kehidupan kota Jababeka, di mana banyak sekali karyawan pabrik dan warga sekitar berkumpul untuk meluangkan malam mereka. Keadaan malam itu memang gelap dan hujan turun rintik-rintik, tetapi itu tidak menyurutkan keinginan warga Kota Jababeka untuk tetap keluar dan makan di beberapa warung di Pasimal.

Keadaan memang sedikit mencekam. Setelah menyelesaikan makan malamku, mie rebus ala Pasimal, aku berjalan ke ujung jalan di dekat masjid Kasuari untuk mendapatkan ojeg pulang ke arah bolk 1, perkampungan (barangkali bisa dibilang kumuh, di belakang sekolah Al-Azhar, Jababeka Education Park). Di perjalanan aku sempat bercakap dengan pengendara ojeg yang tampaknya masih berusia belasan tahun. Aku menanyakan sudah berapa lama listrik padam.

“Kalau di Cikarang Baru sejak pukul 17:30 atau menjelang maghrib. Sedangkan di Blok 1 sudah dari siang tadi jam 12an.” katanya yang aku dengarkan dengan hembusan angin yang cukup kencang.

Perjalanan dari Pasimal menuju Blok 1 sekitar 3-4km. Sesampainya di dekat kamar kosku (rumah petak atau rumah bedeng), aku turun dan jalanan sedikit basah dan berlumpur. Setelah membayar uang Rp5000 aku berjalan dengan hati-hati sambil melihat ke bawah, barangkali ada genangan air.

Setelah aku masuk rumah, kondisi memang sangat gelap. Meskipun aku memiliki beberapa lilin, tapi aku baru menyadari bahwa aku tidak memiliki korek api untuk menyalakannya. Setelah berganti pakaian dan merapikan kamar, aku berjalan keluar menuju ke warung depan rumah untuk membeli korek api. Aku juga bertemu dan menyapa karyawan kampus yang menempati kamar paling ujung dan penjaga kosan.

Setelah itu aku kembali ke kamar dan menyalakan lilin untuk menerangi kamar. Setelah sedikit meregangkan otot-ototku dan pikiranku, aku mandi dan kemudian sholat. Ada sedikit firasat yang kurang enak memang sebelum sholat dan ketika sholat. Aku berpikir malam itu, sholatku untuk mengamankan rumahku dari beberapa gangguan (makhluk halus, hari gini?!) dan orang-orang jahil. Karena memang itu bangunan baru dan juga baru aku tempati beberapa hari – kurang dari seminggu.

Setelah sholat, aku mengirim beberapa sms ke beberapa orang teman lama dan saudara. Sebelumnya aku menerima sms dari bapak di Surabaya menanyakan kabarku karena dia tahu ada banjir di Bekasi dan ingin tahu apakah di tempatku, di Cikarang juga terkena banjir. Sampai malam itu aku belum sempat menjawab sms itu, sambil mendengarkan musik dari laptop Appleku. Keadaan di kamar memang gelap. Aku matikan api lilin di ruang depan dan juga di kamar mandi. Aku nyalakan 2 lilin di ruang tengah, di mana aku tidur. Aku juga sempat bertelepon dengan teman yang ada di Jakarta dan menceritakan bahwa dirinya juga terjebak hujan dan banjir di kawasan Ciputat, Jakarta Barat.

Hari semakin larut, aku juga mulai mengantuk. Kumatikan laptop dengan kondisi baterai yang tinggal sedikit. Kumasukkan laptop, dompet dan jam tangan ke dalam ransel Eastpak hitamku. Tiga handphone kuletakkan di samping bantal dengan alarm yang sudah erpasang untuk membangunkanku setelah subuh karena aku berencana untuk naik bis Pak Roso ke Jakarta keesokan paginya. Jam waker yang sudah kesetel alarmnya juga, senter berada di dekatku. Dua lilin yang menyala dan 1 lilin yang sudah mulai memendek. Setelah berdoa aku mulai memejamkan mataku. Tapi kali ini sedikit berbeda, aku merasakan hal lain di dalam doaku. Well, tapi akhirnya pun aku tertidur pulas seperti biasanya.

Jumat, 2 Februari

Tiba-tiba aku terbangun, lilin di kamarku sudah padam dan aku melihat jam yang ada di sampingku dan kutekan lampunya. Waktu masih menunjukkan jam 3 lebih dini hari. Aku mendengar suara ribut-ribut, samar-samar terdengar dari luar. Mulanya aku kira hanya orang-orang ribut biasa, tapi rasa penasaranku mempengaruhi otakku untuk mencari tahu. Aku bangun dan berdiri dari kasur lipatku di lantai yang cukup dingin. Kubuka kelambu dan mengintip dari balik jendela, mencari tahu apa yang terjadi. Kulihat banyak sekali orang berkerumun di warung depan rumah yang tampak terang dengan banyaknya lilin yang dinyalakan. Aku kira orang sakit atau orang mati (biasa orang di perkampungan ini toleransi terhadap tetangga di sekitarnya) Tapi aku merasakan ada yang lain. Kubuka pintu kamarku dan melihat kanan kiri. Tampak ada lemari dan meja rias di luar. Samar-smar dan setengah sadar aku melihat. Aku berpikir, “Ah mungkin hanya orang atau tetangga samping rumah baru pindah dan mengisi kamar.”

Tiba-tiba aku melihat mas Aza (aku kurang tahu nama sebenarnya), si penjaga kamar kosan kita tampak panik berlarian dan dia melihatku, lalu berteriak kencang, “Mas ayo mas buruan lari, banjir!” Aku pun kebingungan, kulihat teras depan masih kering dan dia berteriak banjir?! suasana memang tampak panik, aku ke dalam dan kencing ke kamar mandi dan keluar lagi melihat keadaan. Dia masih terus meneriakkiku untuk menyelamatkan diri. “Mas ayo buruan, selametin barang-barang berharga, dompet, handphone, air sudah meninggi.” Ketika kedua kalinya aku keluar rumah, aku mulai melihat bahwa air perlahan masuk di depan teras rumah, sekitar 2 cm, kali ini jelas kulihat. Aku pun mulai bergegas menyelamatkan barang-barangku, semua aku masukan ke dalam ranselku. dan aku sempat mengambil pakaian sepasang dan sepatu untuk ke kantor. Dan sedikit kurapikan beberapa barang. Aku tidak banyak memikirkan harus menyelamatkan buku-buku dan beberapa kotak dokumen yang aku letakkan di lantai. Dan ensikolpedia wayang 6 edisi milik Martin (temanku dari Denmark) yang dititipkan ke aku beberapa waktu lalu sebelum dia kembali ke Denmark.

Tidak terpikirkan olehku untuk menaikkan semua kotak-kotak dokuumen itu ke atas lemari yang baru aku beli di Carrefour Ambassador seharga Rp199,900. Dan beberapa tas ransel yang berisi beberapa buku dan dokumen yang ada di lantai.
Yang aku pikirkan saat itu hanyalah, aku harus percaya bahwa kita sedang diserang banjir dan air mulai naik. Aku percaya karena memang sungai terletak tidak jauh di belakang rumahku. Dan aku hanya berpikir aku harus menyelamatkan diri dan beberapa barang berhargaku.

Dengan hanya mengenakan kaos putih Giordano yang aku beli di Seoul dengan harga diskon dan celana pendek Adidas yang aku beli 4 tahun yang lalu di Surabaya dengan penghasilan pertamaku dari mengajar kursus Bahasa Jerman dan sandal jepit, tas ransel hitam di punggungku, dan tas kresek putih besar dari Cuciku yang berisi pakaian dan sepatu, aku mengunci kamarku dan mulai menyelamatkan diri bersama warga lainnya. Dengan berbekal lampu senter untuk penerangan jalanku, aku mulai berjalan menuju jalan utama Jababeka Education Park bersama warga lainnya.

Suasana masih sangat gelap. Ketika aku melangkahkan kaki keluar dari area kamar kos, air sudah setinggi lebih dari mata kaki. aku berjalan lebih jauh bersama warga yang lain dan perlahan air memang mulai naik, setinggi lutut, paha dan akhirnya setinggi pinggangku dan sempat sesaat setinggi dadaku. Air mengalir deras dan menghantam beberapa warga yang berusaha menyelamatkan dirinya. Aku sempat terseret arus dan hampir hanyut, tetapi seseorang menarik tangan kiriku sedangkan tangan kananku menggenggam hp berusaha untuk menghubungi teman dan beberapa saudara. Akhirnya mas Aza memegangi aku supaya tidak terseret arus lagi sambil dia memegangi adiknya yang sedang hamil dan ibunya yang sudah tua.

Menit-menit melewati arus air yang deras menuju sungai itu memang saat yang cukup berat buatku. Rasanya aku ingin menangis, ingin berteriak, menggiggil kedinginan semuanya bercampur aduk di dalam diriku dan pikiranku saat itu.

Setelah beberapa saat berjuang untuk naik ke atas, ke jalan utama akhirnya kita sampai dengan selamat di atas. Alhamdulillah. Aku bersyukur akhirnya aku bisa sampai dengan selamat di atas.

bersambung…

Banjir di Cikarang, Bekasi

Standard

2 Februari, 2007

Kurang lebih sekitar pukul 4 dini hari, aku mengevakuasi diri dari kamar kos yang baru aku tempati sejak hari Sabtu minggu lalu.

Feel like I want to cry:-(

Tetapi semua tempat dan banyak tempat yang banjir. Paling tidak aku sempat membantu warga untuk mengevakuasi diri.

Dan saat ini aku hanya memiliki apa-apa yang aku bawa pagi ini di tas ransel ku. Kutinggalkan semua barang-barang di rumah tanpa berpikir panjang, tanpa berpikir aku harus menyelamatkan barang-barangku. Sudahlah semua sudah terjadi.

Kota Jababeka terendam air. banjir hingga sebatas pinggang dan listrik padam. Aku tidak bisa membayangkan hal ini. Pemadaman listrik ngga ada masalah. Kalau di tambah banjir. Ya Allah, ada apakah ini.

Aku harus berkompromi dengan keadaan saat ini. Aku harus tegar dan kuat.

Aku akan melanjutkan tulisan ini setelah aku bisa merasa sedikit lebih tenang.

Tour de Banda Aceh – Part 2

Standard

Another evening time in Banda Aceh…

Aku ingin menggunakan waktu satu mingguku di Banda Aceh dengan baik. Aku benar0benar ingin melihat kota Banda Aceh dari dekat, setelah penantian selama 2 tahun untuk pergi ke Banda Aceh untuk membantu korban Tsunami.

Perjalanan kali ini, aku ingin melihat bekas-bekas jejak langkah Tsunami di Banda Aceh. Mobil meluncur ke daerah pinggir pantai kota Banda Aceh menuju Ulee Lheue yang merupakan batas pantai kota Banda Aceh saat ini. Perlu diketahui juga bahwa batas pantai kota Banda Aceh berkurang sejauh 4-5km setelah Tsunami 2004. Batas perairan kini menjorok masuk ke daratan.

Kondisi jalan menuju ke Ulee Lheue memang belum pulih. Banyak rumah-rumah darurat didirikan untuk warga yang rumahnya tersapu oleh Tsunami. kondisi jalan pun masih rusak. kondisi lahan hijau. Namun ketika matahari beranjak masuk kedalam lautan, pemandangan alamnya memang sangat indah. Sejauh mata memandang kulihat perairan dari mana Tsunami datang, dan masih bisa kurasakan kehadirannya pada saat itu, tapi pegunungan yang membujur juga membuat pemandangan jadi begitu indah, dengan sedikit temaram cahaya bintang. Bulan pun bersinar pada malam itu. Hari semakin gelap kitap un menuju ke pelabuhan tempat penyeberangan dengan kapal feri cepat menuju Sabang, kota paling ujung Indonesia. (Sayang aku belum sempat meluangkan waktu ke Sabang, mudah-mudahan lain waktu aku bisa kesana)

Di pelabuhan itu pun terdapat PLTD apung yang terkenal itu, tapi pada saat Tsunami menghantam Aceh, PLTD apung ini terseret sejauh 4km dan terdampar di daratan dan menghancurkan rumah yang ada dibawahnya. Saat ini tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengembalikan PLTD apung ini ke perairan. Rencana pemerintah propinsi, PLTD apung ini akan dijadikan museum sebagai saksi gelombang Tsunami 2004.

Kembali ke Ulee Lheue, di sepanjang garis pantai, pemerintah menempatkan bebatuan yang kabarnya digali dari pegunungan disekitar garis pantai. hal ini digunakan untuk menghalangi air atau gelombang air yang masuk ke daratan. Dan tampaknya sebagai antisipasi untuk meninggikan batas daratan dengan lautan. pembenahan infrastruktur ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Australia. Sebelum Tsunami, tempat ini biasanya dipenuhi orang-orang yang berwisata, biasanya hari Minggu pagi garis pantai ini akan penuh sesak dengan pengunjung. Setelah Tsunami jumlah pengunjung tidak terlalu ramai.

Kita pun kembali melanjutkan perjalanan kembali menuju kota Banda Aceh. Banyak rumah-rumah darurat yang terbuat dari kayu sumbangan dari pemerintah asing. Ada juga Radio Box sumbangan dari pemerintah Belanda. Sangat unik.

Banda Aceh Kota Nokia

Perjalanan pun berlanjut dengan keliling kota Banda Aceh. Sepanjang perjalanan banyak sekali kulihat gerai Nokia, Nokia dan Nokia. Sekali lagi, Nokia. Dimana-mana kutemukan gerai Nokia. Serasa berada di Helsinki, Finlandia kota asal Nokia. Karena itu kenapa kusebut “Banda Aceh Kota Nokia.” Well, tampaknya menjamurnya gerai Nokia atau pun gerai telekomunikasi di Kota Banda Aceh ini merupakan dampak dari gelombang Tsunami 2004 lalu. Masyarakat merasa penting dengan fasilitas dan sarana komunikasi yang terjangkau dan selallu ada, untuk selalul mengikuti perkembangan dan kondisi terkini dari karib kerabat. Ya, informasi dan komunikasi memang sangat penting saat ini.

ATM BCA di Banda Atjeh

Bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami, susah sekali mencari ATM BCA di Banda Aceh. aku menemukan beberapa. Satu di kawasan dekat pasar Aceh dan Masjid Baiturrahman. Satu ATM corner yang lebih besar di sekitar Rex. Dan aku kehilangan kartu ATM BCA ku ketika menarik uang di ATM ini. Mungkin terjatuh dan mungkin juga masih tertinggal di mesin ATM. Tapi aku baru menyadari kehilangan kartu ATM BCA ku ketika penerbangan pulang dan transit di bandara Polonia Medan ketika aku akan membeli bolu gulung keju ala Medan. Ya ampun! Untunglah tidak terjadi apa-apa meskipun aku langsung menghubungi Halo BCA untuk pemblokiran kartu. Sekarang aku sudah memililki kartu ATM baru dan ATM Bank Mandiri. In case, di saat perjalanan aku mengalami kesusahan untuk melakukan penarikan melalui rekening BCA.

Itulah, perjalananku di kota Banda Aceh…

Tour de Banda Aceh – Part 1

Standard

Once upon an evening time in Banda Aceh…

Keliling Banda Aceh sore hari memang berbeda ketika kita menikamti perjalanan pagi sambil merasakan sinar matahari terbit yang menghangatkan kulit kita. Jalanan memang tampak naik turun. Infrastruktur belum demikian pulih setelah Tsunami menghantam Banda Aceh.

Kita berkeliling kota Banda Aceh melewati lapangan Blang Padang – tempat mendaratnya helikopter bantuan untuk korban Tsunami tahun 2004 lalu. Kita melewati ikon kota Banda Aceh, Masjid Raya Baiturrahman, sayang kita tidak sempat masuk dan mengambil foto, hanya melintas dan berputar melewati pasar Atjeh yang lumayan ramai dan padat dengan kerumunan orang-orang. Menyenangkan sekali menikmati kota Banda Aceh pada malam hari. Kita juga melewati sungai dan jembatan Pante Pirak yang menjadi saksi bisu korban bencana alam Tsunami.

Malam minggu pertama, kulalui dengan berkeliling kota Banda Aceh dengan mengendarai motor. Menyenagkan! banyak sekali pengendara motor yang berkeliling kota menikmati malam panjang dengan angin semilir-semilir bertiup menghempas wajahku tanpa menggunakan helm.

Di Banda Aceh, dari yang aku tahu pengendara motor tidak harus mengenakan helm pada malam hari. Bilapun mereka mengenakan helm, itu hanya si pengendara, orang yang di belakang tidak perlu mengenakan helm. Dan dari pengamatanku, banyak sekali sepeda motor yang tidak dilengkapi dengan kaca spion.

Labi-Labi

Tampak Labi-Labi atau angkutan umum khas Banda Aceh. Mobil berbadan besar berwarna hitam dengan pintu masuk di bagian belakang mobil, hampir mirip seperti oplet si Mandra, tetapi bagian depan tidak terlalu moncong. Yang membedakannya hanyalah nomer yang tertulis di badan labi-labi, yang menunjukkan arah dan tujuan perjalanan, ada nomer 03, 05, 08 dan lasin sebagainya. Tampaknya ini memang sarana transportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya. Dengan tarif jauh dekat cukup murah Rp 2,000 sekali naik, membuat labi-labi digemari untuk bertransportasi.

Rex: Food Promenade

Setelah puas berkeliling kota Banda Aceh dan ketika matahari mulai tenggelam dan bintang sudah memancarkan sinarnya. Malam itu kota Banda Aceh memang tampak cerah dan raman. Langit bertaburan bintang seperti salah satu tempat makan dan tempat nongkrong yang tidak boleh dilewatkan untuk disinggahi ketika kita di Kota Banda Aceh, Rex (atau Reg atau Rek?!) yang berhiaskan cahaya lampu warung-warung yang berjajar di sekitar area pusat makanan di Banda Aceh. (Kalau di Jakarta, mungkin seperti daerah Jalan Sabang atau Kafe Taman Semanggi).

Kata rex sendiri konon berasal dari orang-orang Aceh zaman penjajahan Belanda yang pada saat itu ada jalur kereta api, trem yang melintasi kota Banda Aceh. Nah, jalan trem ini yang seharusnya disebut rel oleh orang Aceh pada saat itu disebut rek, karena perbedaan pengucapan. Pusat makanan ini berada di lapangan luas yang dulunya terdapat jalur trem pada zaman Belanda dulu, akhirnya tempat ini disebut Rex (mereka sendiri juga bingung bagaimana penulisan yang benar).

Di Rex kita bisa mencoba berbagai makanan khas Aceh. Aku sendiri memesan martabak Mesir ala Aceh. layaknya masakan Aceh, martabak Mesir ini juga ditaburi irisan bawang merah untuk menambah aroma dan kekhasan masakan Aceh. Memang enak sekali ditambah suasananya yang menyenangkan dan nyaman. Tidak jauh beda dengan kondisi tempat makan di Jakarta, banyak sekali pengemis yang datang menghampiri untuk mengharapkan belas kasih dari para tamu. (Memang sedikit menggangu kenyamanan, tapi bagaimana lagi?)

Sate Matang

Tidak jauh dari lapangan makan, Rex, kita bisa menemukan beberapa warung sate matang – khas Aceh. Sate ini sekilas tidak berbeda dengan sate lain pada umumnya. hal yang membedakannya adalah penyajian dan menu pendamping lainnya, termasuk cara pembuatannya. Sebenarnya sama seperti pembuatan sate lainnya, dibakar, dikipas hinga matang. yang membedakannya adalah si pemasak sate matang ini. Untuk memberikan kekhasan, mereka memukulkan botol minyak ke meja hingga menimbulkan suara ‘gedog’ yang keras yang membuat pembeli terhibur sembari menunggu sate matang dihidangkan.

Sate matang dihidangkan dengan nasi terpisah, dan bumbu kacang yang khas di piring terpisah dan juga sup dengan irisan daging kambing dengan aroma khas Aceh. Selain itu juga disediakan jeruk nipis untuk menambah kesedapan rasa sate matang. Harga satu porsi dengan minuman teh atau jeruk setengah panas (begitu orang Aceh mengatakan hangat) kurang lebih sekitar Rp 15,000 – Rp 20,000.

Toko cinderamata

Di dekat warung sate matang ini, berjalan sekitar 2 menit, kita akan menemukan toko suvenir khas Aceh. Di sini kita bisa menemukan semua cinderamata khas Aceh mulai dari gantungan kunci Aceh hingga kopi Aceh dengan harga yang murah. Harga bisa ditawar, dan menurutku penjualnya cukup jujur dan tidak memainkan harga. Fair enough. Kita disambut dengan ramah dan bahkan kita juga sempat berfoto dengan si penjual di toko mereka. Aku tidak belanja terlalu banyak, hanya beberapa gantungan kunci dan bros dengan harga yang reasonable.

Well, it was one evening Tour de Banda Aceh…Unforgettable!

Roti Cane Abu Nek – Simpang Lima

Standard

Cane, cane…

Setelah menikmati keharuman kopi di Ulee Kareng, kami langsung meluncur menjelajahi kota Banda Aceh dan kita mencari Roti Cane yang paling enak di Banda Aceh.

Wisata kuliner de Banda Aceh…

Setelah berputar di bundaran Simpang Lima, kita meminggirkan mobil dan parkir di dekat warung tenda Roti Cane Abu Nek (secara harfiah artinya kuang lebih Ayahnya nenek – begitu kata salah seorang teman yang mendampingi kami berjalan keliling kota Banda Aceh).

Roti cane Aceh memang berbeda, tidak sebesar yang biasa aku makan di Jakarta dan rasanya lebih manis dari yang biasanya aku makan. Dengan berbagai pilihan rasa susu, coklat, kacang, keju dan campur. Dengan ukuran diameter sekitar 8 cm dan lebih tebal dari yang biasa aku makan. Gigitan pertama begitu menggoda, terasa sangat manis dan pekat, tampakanya bahannya khas.

Pertama, warung roti cane ini tampak sepi hanya kami berlima yang duduk di warung tenda khas kota Banda Aceh. Tidak lama kemudian, beberapa sepeda motor menepi dan memesan roti cane untuk dimakan di tempat ataupun di bawa pulang. Bahkan pengendara mobil pun ramai berhenti di warung roti cane Abu Nek di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh yang letaknya di seberang jalan restoran cepat saji KFC. Persaingan bebas: masakan tradisional dengan masakan modern cepat saji.

Tentu saja roti cane Aceh masih memiliki banyak penggemar. Awalnya warung tenda ini begitu sepi, tapi dengan berjalannya waktu semakin banyak orang yang menjadi pelanggan tetap warung roti cane yang kabarnya bisnis ini dijalankan turun temurun oleh anggota keluarga.

So, jangan lupa mampir ke Roti Cane Abu Nek di Simpang Lima, Banda Aceh bila kalian singgah ke kota Darussalam ini.

Kedai Kopi Simpang Tujuh – Ulee Kareng

Standard

Konon katanya orang-orang Aceh suka berkumpul dan meluangkan sebagian besar waktunya di kedai kopi bersama teman-teman dan kerabat mereka untuk membicarakan banyak hal dari masalah keluarga hingga menyusun strategi perang. Benar ngga sih?

Ternyata memang benar. Ketika aku berkunjung ke salah satu kedai kopi di daerah simpang tujuh, Banda Aceh atau yang lebih dikenal dengan ulee kareung (aku ngga yakin apakah penulisannya benar) banyak orang berkumpul di kedai kopi yang lumayan besar itu. Kubuka pintu mobil dan kulangkahkan kakiku setapak demi setapak masuk ke kedai kopi itu, aroma harumnya sudah tercium sedap.

Disini kita akan banyak menemui orang-orang dengan wajah tipikal Aceh, dengan garis wajah Arab dan India yang dominan. Dari remaja sampai orang-orang tua duduk berbincang dengan teman kerabat mereka, bercanda dan tertawa membicarakan banyak hal dan menceritakan joke untuk menyegarkan suasana.

Di Aceh, bisa kita temui kedia-kedai kopi yang besar, bahkan lebih besar dari kafe Starbucks yang ada di Jakarta. Ada kemungkinan juga perputaran uagn disini lebih besar dibandingkan perputaran uang di kafe atau kedai kopi di ibukota. Bayangkan saja, tidak hanya menikmati kopi tapi terkadang terjadi transaksi bisnis di kedai kopi di Aceh. Dari transaksi penjualan kereta (sepeda motor) sampai mobil.

Di sini juga disediakan berbagai jajanan pasar ala Aceh, mulai dari bika Aceh sampai srikaya Aceh. Aku juga akhirnya tergiur untuk mencoba mie kocok Aceh, ternyata memang enak dan pedas!! Membuat keringatku bercucuran, tapi memang kebanyakan masakan Aceh pedas dan ada ciri khas yang menonjol yaitu taburan bawang merah di atas masakan (kebanyakan masakan tapi tidak semua) untuk menambah aroma masakannya.

Aku juga mencoba kopi Aceh yang terkenal dengan aromanya yang khas, harum. Kopi setengah panas kental manis. Rasanya tidak beda dengan kopi pada umumnya, tapi khasiat dan efeknya setelah kita minum memang luar biasa, seperti minuman berenergi.

Big Smoke Jakarta

Standard

Jakarta: the Big Smoke of Indonesia…

I first time came to this capital city of Indonesia in 1993 when I was around 10 years old. The first impression I got was so hectic, stressful, disordered and a lot more bad things about the city. I told myself that I would never come back here again.

But what? now I am living and working in Jakarta for almost five months. Fortunately, I will return to Cikarang when the internship programme in UNESCO Jakarta ends on January 31. Thankfully.

In this category I’ll tell you more about Jakarta, the people, the real situation and conditions, the places I visited, etc.

If you are curious to know more about Jakarta, stay tuned here, I’ll write more.

Cheers, Reiza