Lingkungan-ku, Hidup-ku, Masa Depan-ku

Standard

Karya tulis ini telah dikarang oleh Mohammad Reiza untuk diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Nasional BRI 2004 dan telah disahkan oleh Rektor Universitas President, Cikarang, Bekasi, bahwa karya tulis ini merupakan hasil karya pemikiran sendiri dan belum pernah dipublikasikan di media massa.

Dua tahun lalu, ketika saya harus menulis essay tentang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia sebagai persyaratan program duta remaja Indonesia ke Jepang, saya baru mengetahui lebih jauh seberapa serius permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi dan harus ditangani oleh pemerintah Indonesia. Tentunya, dengan peran aktif masyarakat menjaga dan melestarikan lingkungannya. Coba kita lihat kebiasaan diri kita, keluarga kita, tetangga kita, warga kita sampai ke bangsa kita dan kita belum bisa dikatakan bangsa yang sadar akan kebersihan lingkungan dan seberapa pentingnya menjaga kesehatan lingkungan kita.

Saya juga jadi teringat, kejadian dua tahun lalu di Jogja. Saat itu saya bertemu dengan seorang wisatawan dari Perancis di daerah sekitar Kraton Jogja. Setelah berbincang-bincang, kita akhirnya memutuskan untuk pergi ke Candi Prambanan dan menonton “Ramayana Ballet” di teater terbuka yang terletak di bagian barat candi. Sang surya mulai tenggelam, dan kita berjalan keluar dari area Candi Prambanan menuju ke tempat pertunjukan sambil meneguk sekaleng minuman ringan. Tampaknya dia sudah menghabiskan minumannya, tapi dia masih saja menggenggam kaleng kosongnya. Ada pertanyaan di benak saya “kenapa dia tidak membuang saja kalengnya?” Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa kamu tidak membuangnya saja?” Dia menjawab dengan nada sedikit terkejut, “Tidak, saya mencari tempat sampah!” “Tapi sekarang kamu ada di Jogja, lihatlah orang-orang di sekelilingmu,” langsung saya balas dengan jawaban yang mungkin merisaukan dan menimbulkan tanda tanya di dalam pikirannya. Akhirnya dia mengatakan sesuatu yang berhasil merubah pikiranku secara drastis, “Baiklah, tapi itu bukanlah alasan yang baik untuk membuang kalengnya, kan?”
Dari pengalaman itu dan dari saat itu juga, saya akhirnya berpikir dua kali sebelum membuang sampah sembarangan. Meskipun itu hanya bungkus permen, saya pasti memasukkannya ke dalam kantong celanaku sampai kutemukan keranjang sampah, baru saya akan membuangnya. Itu memang pelajaran yang sangat berharga buatku dari seseorang yang datang dari negara yang kesadaran akan kebersihan lingkungannya sudah tinggi. Bagaimana ya rasanya, kalau yang mengatakan hal itu tadi orang Indonesia, teman kita sendiri? Wah, pasti kita akan merasa bangga. Pada saat itu, tingkat kesadaran bangsa kita untuk menjaga alam pasti sudah tinggi, tapi kapan ya? Pasti. Suatu hari nanti kita akan menuju dan berada pada tingkatan itu tapi kita juga harus benar-benar menjaga dan melestarikan lingkungan kita, hidup kita dan juga masa depan kita.
Tidak berhenti di situ saja, pertanyaan-pertanyaan terus melayang dan berputar-putar di atas kepalaku. Setibanya di Jepang, saya semakin terkagum-kagum dengan keadaan lingkungannya, kebersihannya dan bagaimana kebiasaan mereka dalam menjaga alam dan lingkungan hidup. Benar-benar hal yang harus ditiru dan diterapkan di negara kita. Bagaimana kalau kita mencanangkan hari bebas sampah nasional? Ketika semua orang di seluruh Indonesia meluangkan satu hari waktunya untuk membersihkan lingkungannya dan membebaskannya dari benda yang bernama sampah dan kotoran-kotoran.
Orang-orang Jepang memang sangat menghargai dan menilai tinggi kebersihan lingkungan karena itu juga mempengaruhi tingkat kesehatan mereka. Lingkungan bersih, badan pun sehat. Benar kan, kalimat itu? Saya tidak melihat sebuah sampah berserakan di sepanjang jalan yang saya lalui, semuanya ada pada tempatnya. Benar-benar pengalaman yang mengesankan. Baik itu di desa kecil seperti di Kojima maupun di ibukotanya, Tokyo. Sampah telah terorganisasi dan teratasi dengan sangat baiknya. Terbayang tidak, ternyata di beberapa pintu masuk plaza atau pusat perbelanjaan di Tokyo telah disediakan tempat sampah khusus yang didesain terpisah-pisah sesuai dengan jenis sampahnya, seperti sampah organik, non-organik, besi dan pecahan kaca. Hal itu mengindikasikan bahwa warga Jepang telah mendapatkan pendidikan yang baik tentang kebiasaan membuang sampah.
Bagaimana kalau tempat sampah seperti itu disediakan di pintu masuk Plasa Senayan, Plasa Indonesia, Mall Taman Anggrek dan beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta. Untuk pertama kali, memang akan menjadi proyek percontohan untuk pusat-pusat perbelanjaan yang lainnya. Hal itu pasti akan menjadi sesuatu yang baru dan aneh bagi pengunjung mall, tapi tentunya dengan bantuan para pemilik mall. Mereka harus berpartisipasi mendidik dan memberikan pengarahan berkala kepada para pengunjung mall dalam membuang dan memilah sampah pada tempat sampah baru itu. Lantas setelah itu, sampah-sampahnya akan dikemanakan? Kalau kita cermat dalam melihat peluang yang ada di depan mata kita, sampah-sampah tadi bisa kita daur ulang menjadi barang baru yang bermanfaat untuk kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, sampah-sampah tadi bisa kita ubah menjadi uang lho kalau kita melihat dari segi bisnisnya. Banyak juga, kalau kita tahu, orang-orang yang berhasil meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan keluarganya dari bekerja sebagai ‘pengepool’ sampah. Nah, sekarang bagaimana caranya kita bisa memanfaatkan sampah.
Tidak hanya itu. Kunjungan ke tempat pengolahan limbah ‘Mizushima’ memberikan pelajaran yang sarat dengan ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat di Jepang. Bagaimana mereka mengolah limbah perumahan dan pabrik, menyalurkannya melalui pipa-pipa dalam tanah yang panjang, mengendapkan lumpur dan pasirnya lalu mengalirkan air hasil saringan ke pipa lainnya untuk diolah dan disuling menjadi air bersih siap pakai. Melihat bagannya yang rumit sudah membuat geleng-geleng kepala. Beda sekali dengan beberapa tempat pengolahan limbah perumahan dan industri yang bisa dilihat di daerah industri Jababeka, Cikarang. Memang keduanya tampak rumit, tapi yang terlihat di Jepang menggunakan teknologi yang lebih canggih. Bagaimana cara menyamainya? Dengan meningkatkan sumber daya teknologi bangsa Indonesia.
Selain itu, kita juga diajak mengobservasi lingkungan dengan cara mengetes kadar air sungai harian apakah layak minum atau tidak. Sayangnya, pada saat itu keadaan airnya sedikit kotor jadi tidak layak minum. Begitu jauhnya mereka memperhatikan kebersihan lingkungan. Sampai air sungai pun ada kelayakan minumnya. Coba kita lihat sungai Ciliwung yang kotor, bangunan-bangunan liar yang berdiri di sepanjangnya, orang-orang mandi, buang air, mencuci pakaian dan bahkan mencuci beras yang akan mereka makan. Kita tidak boleh membiarkan hal itu terus terjadi, lalu apa yang harus kita lakukan?
Saat ini saya berada di sebuah rumah kontrakan di daerah industri Jababeka. Kebanyakan tetangga kanan kiri saya orang-orang pendatang yang bekerja di pabrik-pabrik. Mereka tampaknya juga kurang mengerti tentang dampak pembakaran sampah. Saat ini saya sedang mengadakan penelitian tentang kebiasaan warga Cikarang dalam membuang sampah rumah tangga mereka dan saatnya saya memberikan pengertian bahwa membakar sampah justru akan memperburuk keadaan dan bahkan bisa lebih mencemari udara yang kita hirup. Ternyata permasalahannya bukan itu saja, petugas yang biasa mengambil sampah dari kampung ke kampung pun jarang sekali saya jumpai di sekitar rumah saya. Kita biasanya membuang sampah di tempat sampah yang ada di ujung jalan lalu salah satu dari mereka pasti akan membakarnya setiap akhir pekan.
Bagaimanapun juga, kita harus mengatasi hal ini bersama-sama dan membutuhkan koordinasi yang baik dengan kepala desa setempat. Keadaan di sini memang memprihatinkan tapi tampaknya dari pihak kepala desa memang tidak dapat berbuat banyak untuk menangani hal ini. Memang saatnya saya dan beberapa teman-teman mahasiswa membantu menangani hal ini. Dengan metode pendekatan personal kepada masyarakat sekitar, permasalahan sampah yang telah lama dihadapi oleh warga Cikarang, diharapkan bisa segera diselesaikan.
Keadaan TPA juga memprihatinkan. Semua sampah yang ada di sekitar Bekasi akan dibuang dan menggunung di TPA Bantar Gebang, sementara volume sampah yang semakin meningkat dari hari ke hari semakin memperkecil daya tampung TPA ini. Sama halnya dengan TPA Benowo yang menjadi tempat pembuangan semua sampah di Surabaya setelah TPA Keputih ditutup.
Bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah yang semakin rumit ini? Tampaknya memang tidak mudah untuk menangani hal-hal yang menjadi permasalahan nasional di Indonesia saat ini. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Tentunya pemerintah Indonesia dan juga seluruh rakyat Indonesia. Jadi, pada dasarnya kita memang harus bekerjasama untuk menangani permasalahan ini. Pemerintah yang memfasilitasi sementara warga yang menjalankan. Dalam hal ini kita membutuhkan tiga peranan yaitu investor, konseptor dan juga pelaksana.
Investor akan menanamkan modalnya untuk program pengolahan sampah ini, pemerintah juga bisa memberikan kucuran dana untuk menangani masalah ini. Dalam hal penanganan lingkungan hidup, dana segar memang dibutuhkan untuk merealisasikan rencana-rencana yang telah dibuat oleh konseptornya.
Siapakah konseptornya? Banyak sekali orang yang bekerja di Dinas Kebersihan yang memiliki ide-ide cemerlang untuk mengatasi masalah ini, misalnya dengan membuat cairan biokimia yang mampu menghancurkan sampah organik, membuat alat yang mampu mengubah sampah-sampah plastik menjadi tali rafia, memberdayakan ibu-ibu rumah tangga untuk membuat kerajinan tangan dengan menggunakan sampah-sampah non-organik, membuat mesin yang bisa mengolah sampah-sampah organik menjadi pupuk, membuat batu bata dengan isi sampah, bahkan kita juga bisa menggunakan bioteknologi dengan menciptakan robot yang mempunyai sel-sel tumbuhan yang mampu menyerap gas CO dan CO2 lalu mengolahnya di dalam tubuh mereka dan membebaskan gas-gas tadi dalam bentuk O2. Robot ramah lingkungan juga bisa sangat membantu dalam hal ini.
Setelah semua konsep matang, beberapa orang sukarelawan atau aktivis-aktivis lingkungan hidup bisa mengenalkan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat umum, supaya mereka mengetahui jalan-jalan yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan masalah sampah yang tak kunjung usai di negara kita ini. Jadi, masing-masing dari kita adalah pelaksananya.
Dalam hal ini, peran LSM lingkungan hidup juga memang sangat dibutuhkan. Tahun lalu saya sempat bergabung dengan LSM Tunas Hijau di Surabaya, tapi saat ini saya ingin mendirikan LSM lingkungan hidup sendiri yang mampu membantu pemerintah dan juga masyarakat dalam menangani permasalahan lingkungan. Dengan bantuan teman-teman di kampus, saya akan meluangkan waktu untuk terjun ke masyarakat dan mensosialisasikan program-program penyelamatan lingkungan hidup. Untuk pertama, kegiatan ini difokuskan di area lokal karena kebanyakan masyarakat di sini masih berpikiran tradisional dalam penanganan masalah lingkungan hidup, terutama sampah.
LSM yang bekerja untuk lingkungan hidup dibutuhkan untuk membantu mencari solusi-solusi permasalahan lingkungan. Dengan anggota-anggota yang berkomitmen, berdedikasi dan berintegritas tinggi diharapkan peran serta LSM lingkungan hidup di masa yang akan datang semakin berpengaruh.
Saat ini, Jababeka sudah mengadakan kerjasama dengan EIE (Eco Industrial Estate) Asia untuk menangani permasalahan lingkungan di sekitar daerah industrinya tapi hal itu belumlah cukup tanpa adanya kesadaran dan peran serta warga masyarakat akan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Sudah satu tahun lebih sejak hari pertama berkuliah di President University, Cikarang. Saat itu, perumahan mahasiswa terletak sekitar tiga kilometer dari kampus sehingga pihak universitas harus menyediakan dua unit bis kampus yang mengantar jemput mahasiswanya. Coba bayangkan, kuliah kami dimulai dari Senin hingga Jumat dan setiap harinya bis harus mengendarai jarak kampus-asrama-kampus beberapa kali. Berapa banyak gas emisi yang dikeluarkan bis setiap harinya? Itu merupakan salah satu faktor pemicu polusi udara. Tapi sejak bulan Juni lalu, asrama mahasiswa dipindahkan ke perumahan mahasiswa yang baru yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dan hal itu membuat pihak universitas tidak lagi menyediakan jasa bis kampus karena mahasiswa setiap harinya harus berjalan kaki ke kampus dan pulang lagi ke asrama, kami menyebutnya “Akademia Student Housing.” Mahasiswa dari Vietnam dan China pun benar-benar menikmati suasana seperti ini bahkan tidak sedikit mahasiswa yang mengendarai sepeda untuk transportasi hariannya.
Lebih jauh lagi, pemindahan asrama mahasiswa memang banyak membawa dampak positif untuk lingkungan sekitar kampus dan student housing itu sendiri. Tingkat polusi udara bisa ditekan karena tidak adanya penggunaan jasa bis kampus apalagi ditambah dengan keberadaan jalur hijau atau boulevard di sepanjang jalan Ki Hajar Dewantara, Cikarang Baru yang membuat suasana Education Park di sekitar President University lebih segar dan rindang. Keadaan lingkungan sekitar kampus masih alami dan belum banyak terjamah oleh tangan-tangan manusia yang ingin membangun gedung-gedung. Di sekitar kampus masih dapat dilihat sawah yang menghampar hijau dan mengalir sungai di tengahnya.
Bagaimanapun juga, lingkungan di sekitar kita masih harus dikelola lebih serius lagi untuk merasakan hasil yang lebih nyata. Keinginan saya sudah bulat untuk memiliki sebuah LSM yang didirikan atas dasar kesadaran dan kecintaan akan lingkungan hidup. Saya lihat, memang salah satu solusi yang tepat untuk menangani masalah lingkungan adalah LSM atau organisasi-organisasi kemahasiswaan yang peduli akan kehidupan lingkungan yang berkelanjutan. Coba sejenak kita pikirkan, kalau saja setiap universitas yang ada di Indonesia memiliki satu organisasi atau bahkan lebih yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan mereka peduli akan lingkungan dan perkembangan komunitas di sekitar universitas mereka. Berapa luas area yang sudah dapat ditangani dengan bantuan mahasiswa yang bekerja untuk lingkungannya.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia sudah terbantu oleh para mahasiswa. Kenapa harus mahasiswa? Karena bukan kakek nenek kita atau orang tua kita yang akan menikmati dan merasakan kehidupan dua puluh sampai tiga puluh tahun lagi melainkan kita. Mahasiswa adalah generasi yang akan hidup di masa itu dan karena itulah permasalahan ini menjadi tanggung jawab kita bersama.
“Kalau bukan kita siapa lagi?” pertanyaan ini tentunya sudah sering kita dengarkan. Kita, yang harus menyelesaikan dan memikirkan permasalahan serta jalan keluar untuk masalah-masalah lingkungan hidup yang saat ini sedang kita hadapi. Saya teringat, ketika tahun lalu saya menghadiri peresmian hutan kota di tepi Kali Mas Surabaya oleh Menteri Lingkungan Hidup pada saat itu, Bapak Nabiel Makarim dan beliau berpesan agar generasi muda Indonesia harus berperan aktif dalam menjaga lingkungan hidup.
Do It Now! Aturan pertama dalam buku “The Personal Efficiency Program” yang ditulis oleh Kerry Gleeson harus kita terapkan dalam penanganan masalah lingkungan hidup yang semakin serius. Jangan menunda-nunda lagi untuk menyelesaikannya, lakukan sekarang juga pasti semuanya akan terselesaikan secara perlahan-lahan dan pada tahun 2020 di mana kita sudah menjadi orang-orang dewasa, kita akan melihat hasil nyatanya dan menikmati hasil kerja keras kita selama belasan tahun. Tidak ada yang rugi kalau kita mau dan ikhlas untuk turun tangan membantu penanganan masalah lingkungan hidup ini. Kita harus memperhatikan dan memikirkan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan sebagai bentuk kesadaran kita akan kehidupan.
Kita harus melihat diri kita dulu dan berpikir sebelum mengadakan pembangunan gedung-gedung pencakar langit. Saat ini Jakarta sudah penuh sesak dengan berbagai macam gedung dan bangunan perumahan, polusi udara dan radikal bebas. Kita pikirkan iklan layanan masyarakat yang sering diputar di televisi. Banyak bangunan-bangunan liar di sepanjang daerah aliran sungai Ciliwung, kotoran, limbah rumah tangga tapi setiap orang yang tingal di daerah itu menggunakan airnya untuk mandi, buang air, mencuci pakaian, mencuci makanan dan aktivitas kehidupan lainnya. Apakah kita tidak malu dengan hal itu? Di balik gedung-gedung yang menjulang megah masih ada aktivitas kehidupan yang tidak memenuhi standar-standar hidup sehat dan bersih. Bagaimana kalau anak cucu kita ditanyai mengenai hal itu nantinya? Haruskah mereka yang menanggung permasalahan yang tidak kunjung usai ini?
Sekarang saatnya kita memikirkan solusi-solusi dan pemecahan masalah untuk menangani problematika lingkungan hidup yang sedang kita hadapi. Seperti yang saya utarakan di paragraf sebelumnya bahwa kita membutuhkan para investor, konseptor dan pelaksana yang mampu mendedikasikan diri untuk berperan serta mencarikan jalan keluar masalahnya. Investor menanamkan modal untuk penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para konseptor yang menciptakan solusi-solusi untuk diaplikasikan oleh para pelaksana yang terjun langsung ke lapangan dengan cara mensosialisasikan program-program untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Ketiga peran ini harus selalu ada selama proses penanganan masalah atau sebaliknya maka rencana-rencana yang telah dibuat tidak bisa berjalan secara optimal, efisien dan efektif.
Lebih jauh lagi, kita juga harus memperhitungkan peran aktif organisasi, institusi ataupun LSM yang bergerak dan menangani masalah-masalah di bidang lingkungan hidup karena orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut kebanyakan telah mendedikasikan diri mereka untuk lingkungannya. Bahkan, kalau memungkinkan, kita bisa membangun kerjasama dengan organisasi-organisasi lingkungan hidup yang bertaraf internasional seperti Grennpeace, UNESCO, AEON dan lainnya sebagai perbandingan pembelajaran atau referensi solusi-solusi yang digunakan di negara-negara lain dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hidupnya. Program-program mereka itu pasti akan lebih membantu kita.
Bagaimanapun juga, kita sebagai generasi muda bangsa Indonesia harus ambil bagian dalam menyelesaikan masalah ini karena kitalah yang akan hidup dan berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Jadi, kita harus mulai dari sekarang. Jangan menunda sampai besok atau lusa. Kita mulai dari diri kita, keluarga kita, orang-orang di sekitar kita dan juga bangsa kita nantinya. Sesuatu yang besar dimulai dari hal yang kecil. Mulailah berkreasi dan berinovasi dengan ide-ide cemerlang untuk menyelesaikan masalah global ini misalnya dengan menciptakan pembangkit listrik yang menggunakan sampah-sampah organik – pembangkit listrik tenaga kulit pisang (seperti yang ditulis di majalah Intisari Oktober 2004). Apalagi saat ini sedang maraknya diperkenalkan green computer, green marketing, green advertising, dan masih banyak lagi penemuan-penemuan lainnya yang ramah lingkungan.
Apalagi yang kita tunggu? Ayo sekarang kita singsingkan lengan baju kita bersama-sama berperang melawan perusakan lingkungan hidup, perjuangan belum selesai. Masih banyak tugas-tugas yang harus kita selesaikan untuk bisa bertahan hidup dan memperbaiki tingkat kehidupan kita sebagai manusia yang ada di muka bumi ini. Kita harus mencintai alam kita dan melestarikannya karena kita adalah generasi berikutnya yang akan menikmati kehidupan dan lingkungannya dan karena kita peduli lingkungan yang berkelanjutan.

About Mohammad Reiza

I first started blogging on wordpress in November 2006 that you can find at mohammadreiza.com and later in January 2007 I added another blog at reizamohammad.wordpress.com and I just recently added another blog in May 2013 at reizamonologues.wordpress.com

5 responses »

  1. Melayani limbah limbah SEJABOTABEK : Industri; Perkantoran; Gedung/Apartment; Perumahan; Sedot WC; Air Kotor; Saluran mampet;Rembesan & Bikin Septictank Segera Hubungi : ISAL No. Tlp. 021-70560098 & 021-71013849

    Like

  2. Yah semuanya harus berawal dari kesadaran diri sendiri dan dimulai dari skrng. Klo enggak gitu pasti sampai kapanpun Jakarta bakalan banjir terus.

    Like

Leave a comment